> Syihabbudin al-Ramli al-Anshari
Dengan segala puji bagi Allah Ta’ala, aku tinggalkan anakku Muhammad tanpa perlu membutuhkan seorang pun
ulama di masanya, kecuali dalam masalah-masalah baru dan terperinci.”
Al-‘irq dassas,
pangkal akar itu menyembul sekalipun terpendam di tanah. Demikian
pepatah Arab untuk menggambarkan faktor bibit keturunan yang baik.
Artinya, akhlaq, kepintaran, kehebatan, dan kelebihan seorang ayah itu
akan menurun kepada anak.
Ungkapan
ini tepat sekali bila ditujukan bagi keluarga Ar-Ramli. Keluarga dari
sebuah dusun kecil di Mesir ini menambah deretan nama ulama termasyhur
di dunia Islam, yang dengan pandangan-pandangannya, karya-karyanya,
dakwah dan tarbiyahnya, telah membumikan makna waratsatul anbiya’, pewaris para nabi.
[adsense:250x250:0123456789]
Siapakah
keluarga Ar-Ramli yang dimaksud? Tidak lain yaitu Al-Imam Syihabuddin
Ahmad bin Ahmad bin Hamzah Ar-Ramli Al-Manufi Al-Mishri Al-Anshari
Asy-Syafi’i dan putranya, Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin
Hamzah Ar-Ramli Shaghirusy Syafi’iyy.
Syaikh Syihabuddin Ar-Ramli
Syaikh
Syihabuddin Ahmad bin Hamzah lahir di Mesir pada masa kekuasaan
Al-Malik Azh-Zhahir Abu Sa’id. Tak ada keterangan tahun kelahirannya.
Namun sebagian penulis otobiografi dan sejarah memperkirakan, Asy-Syihab
Ar-Ramli lahir pada tahun 860-an Hijriyyah.
Ia
dikenal dengan sebutan Ar-Ramli, nisbah kepada sebuah desa kecil
bernama Ramlah, Manufiah, distrik Dimyath, yang dekat dengan daerah
Maniyah Al-‘Athar ke arah masjid Nabi Khidhir AS.
Pada
tahun 886 H/1481M, petir besar telah menyambar bagian Masjid Nabawi,
sehingga menara yang berada di atas persemayaman Nabi turut terbakar.
Hampir tidak ada yang selamat selain kubah makam Nabi Muhammad SAW.
Tatkala
mendengar kabar tersebut, Sultan Qaitbay dan orang-orang Mesir
menangis. Sebagai pemegang tampuk kekuasaan di Mesir dan sekitarnya dan
sebagai penanggung jawab atas dua kota suci, sultan mengirim dutanya
untuk merenovasi bangunan Masjid Nabawi.
Syihab
Ar-Ramli, yang ketika itu berumur 16 tahun, turut serta pergi ke Hijaz
dalam bagian rombongan duta Sultan Qaitbay. Rombongan yang dipimpin
Syamsuddin Muhammad bin Zaman ini menyertakan beberapa tenaga
bangunan, tukang kayu, tukang batu marmer, dan lain-lain. Tidak ada
keterangan, apakah Syihab Ar-Ramli muda ini termasuk dalam kelompok
tenaga bangunan, tukang kayu, atau yang lainnya. Menurut sebagian
riwayat, ia tidak termasuk dalam kelompok tenaga bangunan, karena
dalam biografinya disebutkan bahwa ia belajar di Al-Azhar kemudian
menghafalkan Al-Qur’an, hadits, dan fiqih empat madzhab.
Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dalam Thabaqat, karyanya,
mengatakan, Syaikh Syihab Ar-Ramli dikenal sebagai seorang imam yang
shalih dan pemuka ulama Mesir, Hijaz, dan Syam. Barangkali kepergiannya
bersama duta sultan ini merupakan bentuk kepeduliannya saat mendengar
Masjid Nabawi terbakar. Ia yakin, ruangan Nabi SAW akan selamat, tidak
terkena malapetaka, selamanya.
Selama
masa renovasi hingga selesainya, Syihab Ar-Ramli tetap tinggal di
Madinah, tidak pulang bersama para rombongan ke Mesir, untuk menimba
ilmu dan belajar fiqih kepada ulama-ulama Hijaz.
Kembali dan Mengajar
Setelah
sekian lama tinggal di Hijaz, Syihab muda pergi ke Syam dan menetap
beberapa waktu untuk belajar kepada pemuka agama, ahli fatwa, dan
ulama-ulama yang memberi kontribusi dalam pengetahuannya.
Ketika
kembali ke Kairo pada masa kekuasaan Sultan Qanshuh Al-Ghuri,
ketenarannya telah menyebar ke semua penjuru Mesir, khususnya
ulama-ulama fiqih Madzhab Syafi’i. Ini merupakan salah satu sebab
mengapa Sultan Al-Ghuri menugasinya mengajar di Madrasah An-Nashiriyyah
di Qarafah.
Madrasah
An-Nashiriyyah terletak di dekat kubah Imam Syafi’i. Madrasah ini
dibangun oleh Sultan Malik An-Nashir Shalahuddin Al-Ayyubi dari Dinasti
Ayubiyyah dan dikhususkan untuk belajar fiqih Madzhab Imam Syafi’i.
Sultan Malik juga menyediakan kepada para pengajar 40 dinar per bulan
dan roti sebanyak 60 kantung per hari. Sultan pun menetapkan asisten
pengajar dan para pelajar pilihan. Sultan juga mewakafkan permandian
umum (Hammam) di sebelah madrasah dan toko-toko di luarnya.
Al-Maqrizi
mengisahkan, kegiatan belajar-mengajar di Madrasah An-Nashiriyah
diurus oleh para pembesar, seperti Al-Qadhi Taqiyyuddin Muhammad bin
Razin Al-Hamawi, Ibn Daqiq Al-‘Id, Burhanudin Al-Hadr As-Sanjari.
Sosok yang Melayani
Tentang
sosoknya, Imam Asy-Sya’rani bercerita, Syaikh Syihab adalah orang yang
wara’, zuhud, alim, bagus keyakinannya, lebih-lebih di hadapan orang
sufi. Ia selalu menjawab dan melayani dengan santun perkataan mereka,
karena ia seorang imam dalam ilmu syara.
Imam
Syihab juga guru yang amat mencintai murid-muridnya. Dalam hal ini Imam
Asy-Sya’rani sendiri berkata, “Syaikh Syihabuddin sangat mencintaiku
sebagaimana kecintaan tuan kepada sahayanya.”
Hampir
seluruh ulama Madzhab Syafi’i di Mesir pada masanya itu adalah
muridnya. Tidak ditemukan seorang alim bermadzhab Syafi’i kecuali dia
adalah murid Syaikh Syihab atau cucu murid (murid-murid para murid dari
murid-muridnya). Semua permasalahan dari seluruh penjuru Mesir
dikembalikan kepadanya, sehingga masyarakat sangat bergantung
kepadanya, melebihi ketergantungan terhadap para gurunya di
masing-masing tempat.
Tidak
diragukan lagi, Syaikh Syihab memiliki posisi keilmuan yang sangat
tinggi pada masanya. Kedudukannya membuat ulama besar dan senior Mesir
lainnya, Syaikh Zakariya Al-Anshari, meminta dan mempersilakannya untuk
mentahqiq (meneliti dan memperbaiki) karangan-karangannya, baik semasa
hidupnya maupun sesudah wafatnya. Ini hal yang luar biasa, sebab Syaikh
Zakariya tidak pernah memberikan izin dalam masalah ini kepada siapa
pun.
Syaikh Syihab Ar-Ramli turut memperbaiki beberapa tema atau masalah dalam kitab Syarh al-Bahjah dan Syarh ar-Rawdh, karya Syaikh Zakariya, yang di kemudian hari juga ditulis oleh putranya, Asy-Syams Ar-Ramli.
Syaikh Syihab juga mengarang beberapa kitab yang bernilai, seperti kitab Syarh az-Zubad dalam
ilmu fiqih, yang merupakan kitab besar, yang di dalamnya berisi
pentarjihan (memperkuat suatu dalil dengan sekian dalil lainnya),
perdebatan, dan penyeleksiannya, yang telah diteliti ulang oleh Syaikh
Nuruddin At-Tanuta’i, sebagaimana Syaikh Syamsuddin Al-Khatib
mengumpulkan fatwa-fatwa Syaikh Syihab sehingga menjadi kitab yang besar
dan berjilid-jilid.
Meskipun
telah mencapai tingkat keilmuan, sastra, dan materi, yang tinggi, ia
tetap menjadi sosok yang rendah hati. Disebutkan dalam Ath-Thabaqah al-Kubra,
Syaikh Syihab melayani diri sendiri dan tidak memperkenankan seseorang
membelikan kebutuhannya dari pasar sampai ia berusia lanjut dan lemah
fisiknya.
Ia juga termasuk orang yang sangat dihormati dari seluruh tingkatan, khususnya tingkatan para wali, orang-orang jadzab (memiliki “kelebihan”, khariq lil ‘adah), dan sufi, seperti Syaikh Nuruddin Al-Musrifi dan Syaikh Ali Al-Khawwash.
Banyaknya
ahli fiqih, ulama, dan pelajar yang hampir tidak pernah pergi dari
sisinya baik siang maupun malam, tidak membuatnya lupa pada keluarga dan
anak-anak. Syaikh Syihab tetap memberikan pendidikan terbaik kepada
mereka, hingga salah satu anaknya yang mendapatkan gemblengannya menjadi
salah seorang ulama terbesar Mesir, Syaikh Syamsuddin Muhammad bin
Ahmad Ar-Ramli.
Syaikh
Syihabuddin Ahmad bin Hamzah Ar-Ramli wafat pada tahun 957 H/1550 M.
Jenazahnya dishalati pada hari Jum’at di Masjid Al-Azhar oleh puluhan
ribu manusia yang menyemut di sisi dalam dan luar masjid bersejarah
tersebut. Imam Asy-Sya’rani memberitakan, “Aku tidak pernah melihat
jenazah sebagaimana jenazah beliau. Di situ banyak manusia sehingga
masjid pun penuh oleh jama’ah yang melaksanakan shalat jum’at pada
waktu itu. Sampai-sampai sebagian dari mereka shalat Jum’at di masjid
lainnya, lalu kembali ke Al-Azhar untuk menshalatinya dan memberi
penghormatan terakhir buatnya.”
Maqam of Imam Ar-Ramli (رضي الله عنه) - Egypt
Imam Asy-Syams Ar-Ramli
Imam
Syamsuddin Muhammad bin Syihabuddin Ahmad bin Hamzah Ar-Ramli Al-Manufi
Al-Mishri lahir di Mesir pada bulan Jumadil Ula 919 H/Juli 1513 M. Ia
digelari “Asy-Syafi’i Ash-Shaghir” (Imam Syafi’i kecil), berkat
kepiawaiannya dalam berbagai keilmuan, terutama pengetahuan akan
Madzhab Syafi’i.
Imam
Syamsuddin Muhammad muda dibesarkan dalam bimbingan ayahnya, Imam
Syihabuddin Ar-Ramli, yang menjadi sumber rujukan para ulama di
masanya. Lewat tangan dingin ayahnya, segala pengetahuan dilahapnya,
terutama ilmu fiqih, sehingga menjadi darah dan dagingnya semenjak usia
belia. Memang Imam Syamsuddin Ar-Ramli dikenal sebagai faqih dan
mujtahid terkemuka, terutama dalam Madzhab Syafi’i. Tentang ketekunan
belajarnya, sang ayah berujar, “Dengan segala puji bagi Allah Ta’ala,
aku tinggalkan anakku Muhammad tanpa perlu membutuhkan seorang pun
ulamanya di masanya, kecuali dalam masalah-masalah baru dan
terperinci.”
Ia
mengambil ilmu dari ayahnya tanpa perlu lagi berguru kepada para ulama
lainnya pada masa itu, yang memang sebagian besar mereka adalah
murid-murid ayahnya juga. Ia juga senantiasa ikut ayahnya pergi mengaji
kepada beberapa orang guru, seperti Syaikh Zakariyya Al-Anshari dan
Syaikh Burhanuddin bin Abi Syarif. Ia mengambil ilmu dari kedua guru
ayahnya ini, seperti ayahnya pernah mengambil ilmu kepada keduanya.
Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dalam kitab Thabaqat al-Wustha menceritakan,
“Aku menemani Syamsuddin Ar-Ramli semenjak ia masih kugendong di bahuku
hingga hari ini. Tidak ada yang cacat dalam hal agamanya. Sejak kecil,
ia tidak bermain dengan anak-anak sebayanya, ia tumbuh dalam
lingkungan agama dan ketaqwaan, terlindung dan menjaga anggota tubuhnya
dan memelihara kehormatan dirinya. Ayahnya mengasuhnya dengan asuhan
terbaik. Saat aku menggendong-gendongnya waktu mengaji kepada ayahnya di
madrasah An-Nashiriyyah, aku lihat tanda-tanda keshalihan dan
memperoleh taufiq pada dirinya, sehingga Allah benar-benar mewujudkan
harapanku padanya dan memuaskan pandangan para pencintanya. Kini ia
menjadi sumber rujukan penduduk Mesir dalam penyampaian fatwa-fatwa, dan
mereka sepakat atas ketekunan beragamanya, kewara’annya, kebaikan
akhlaqnya, kemuliaan dirinya, dan, segala puji bagi Allah, semua itu
terus bertambah baik pada dirinya.”
Setelah
wafatnya sang ayah, Imam Syamsuddin Ar-Ramli meneruskan majelis
ayahnya dalam mengajar. Kebanyakan yang hadir dalam majelis ini
adalah para murid ayahnya, di antaranya Syaikh Syihabuddin Ahmad bin
Qasim dan Syaikh Nashiruddin Ath-Thablawi. Ia juga mengemban jabatan
majelis fatwa Madzhab Syafi’i serta mendirikan dan mengajar beberapa
sekolah. Imam Asy-Syams Ar-Ramli mengajar berbagai bidang ilmu agama
Islam dan juga menguasai ilmu-ilmu naqli dan aqli lainnya.
Imam
Asy-Syams Ar-Ramli adalah seorang ulama pendidik dan penulis. Selain
mengajar, ia juga menulis beberapa kitab syarah, seperti kitab Nihayah al-Muhtaj Syarh al-Minhaj, Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah, ‘Umdah ar-Rabih fi Syarh ath-Thariq al-Wadhih, Syarh al-‘Ubab (belum selesai), Syarh
az-Zubad, Syarh al-Idhah fi Manasik al-Hajj, Syarh Manzhumah Ibn
al-‘Imad, Syarh al-‘Uqud fi an-Nahw, Syarh al-Ajrumiyyah, Al-Fawaid
al-Mardhiyyah Syarh Mukhtashar Syaikh Abdullah Bafadhal ash-Shaghir, juga sebuah karya syarah atas karya ayahnya tentang kedudukan imam dan makmum, berjudul Ghayah al-Maram.
Ia
habiskan masa hidupnya untuk memberi manfaat yang besar bagi kaum
muslimin, baik dengan mengajar maupun menulis karya-karya yang penting
dan penuh keberkahan itu.
Dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, karya
mufti Hadhramaut ‘Allamah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur
Al-Alawi, disebutkan, Imam Muhammad Ar-Ramli termasuk mujaddid abad
ke-10 Hijriyyah bersama Imam Ahmad bin Hajar Al-Haitami.
Ia hidup sezaman dengan Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami dan Syaikh Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbini.
Imam
Syamsuddin Ar-Ramli berpulang ke rahmatullah pada hari Ahad siang, 13
Jumadil Ula 1004 H/16 Januari 1596 M. Jenazahnya dikebumikan
berdampingan dengan makam ayahnya, di Masjid Sidi Syihabuddin
Ar-Ramli, yang terletak di Babus Syari’ah, yang dulu terkenal dengan
sebutan “Bab Al-Qantharah”, karena di situ terdapat Al-Qantharah
(jembatan) di atas Teluk Mesir.
|
Komentar
Posting Komentar