Syaikh Al-Islam Zakariyya Al-Anshari
BIOGRAFI IMAM ZAKARIYA AL-ANSHARI (826-926/1423-1520) Pengarang Tuhfah at-Thullab dan Ghayah al-Washul SUNAIKAH, nam sebuah desa yang terletak di umung timur mesir. Di situlah lahir seorang anak manusia yang kelak akan menjadi mujaddid di
ke 9 H. Zakariya, itulah nama yang lahir pada tahun 826 H/1423 M. di
tengah-tengah keluarga papa. Menginjak usia remaja, Zakariya pergi ke
al-Azhar, kairo untuk belajar ilmu-ilmu agama. Selama
ada di Kairo beliau sangat rajin belajar sehingga dapat mengalahkan
teman-temannya dan mengusai berbagai bidang ilmu, seperti fikih, hadits,
tafsir, nahwu dan lainnya. Zakariya juga terkenal dengan kecerdasannya
sehingga pemerintah mesir menewarkannya sebagai hakim tertinggi di
negaranya. Namun beliau menolaknya dan baru menerima jabatan tersebut
setelah terus didesak oleh raja, tepatnya pada bulan Rajab, 886 H. Syekh
Abdul Wahab bercerita dari Syekh Zakariya sendiri. Beliau
bercerita, selama ada di al-Azhar, aku sering kelaparan karena tidak
punya uang untuk membeli makanan. Akhirnya, aku keluar mencari kulit
semangka lalu dicuci dan dimakan. Pada suatu hari, ada seorang waliyullah tinggal
bersamaku. Dia bekerja sebagai tukang tumbuk dai sebuah
perusahaan tepung. Ia membeli semua yang aku butuhkan, pakaian, makanan,
kitab dan lainnya. Ia berkata padaku, “Wahai Zakariya, kau jangan
khawatir tentang diriku”. Hal ini terus ia lakukan sampai beberapa
tahun. Pada
suatu malam, di saat manusia sedang terlelap tidur, dia
mengajakku keluar dan menyuruhkumenaiki menara masjid jami’ sampai
kepuncaknya, akupun menuruti perintahnya. Setelah sampai di
puncaknya, aku turun lalu ia berkata, “ Engkau akan hidup sampai
teman-temanmu meninggal. Engkau mempunyai derajat tinggi yang dapat
mengalahkan mereka dan kau akan menjadi hakim tertinggi dalam waktu yang
agak lama. Santri-santrimu akan menjadi pemimpin-pemimpin Islam dan
akhirnya kau akan buta”, “Aku akan buta?” tanyaku terkejut. “kau akan
buta,” jawab sanag wali. “Sejak peristiwa itu, lelaki yang sangat
berjasa kepadaku itu pergi entah kemana dan tidak pernah menemuiku
lagi.” Selama
menjadi hakim, Zakariya menjalankan tugasnya dengan adil dan
bijaksana. Ia tidak segan menegur atasannya yang berlaku tidak benar.
Bahkan akhirnya beliau di pecat sebagai hakim gara-gara mengirim surat
kepada sang raja yang isinya mengkritik dan mengecam
kebijakan-kebijakannya yang tidak sesuai dengan tuntunan agama. Setelah
lepas dari tugasnya sebagai hakim, beliau kembali sibuk dengan tugas
utamanya sebagai ulama, mengajar dan mengarang. Pada
tahun 906 H. tejadi musibah besar yang menimpa Zakariya. Ketika
trdengar kabar bahwa kapal yang membawa putranya, Syekh Muhibbuddin
tenggelam di sungai Nil. Berita itu membuat Zakariya begitu berduka.
Beliau selalu menangisi kepergian putranya sehingga indra penglihatannya
menjadi kabut. Rupanya perkataan sang wali yang menemaninya beberapa
tahun yang silam menjadi kenyataan,beliau buta sepanjang hidupnya. Ibnu
Hajar berkata, “Saya berguru kepada Syekh Zakariya karena beliau adalah
yang teragung di antara ulama-ulama yang lain dan juga sebagai rujukan
para ulama dan sebagai pembawa mazhab Syafi’i.” Syekh Zakariya wafat pad
hari Jumat 4 Dz. Hijjah 926 H. /1423 M. dan dikebumikan di Qarafah,
Kairo dekat makam Imam Syafi’i. Di antara karangannya adalah; Tahrir Tanqih al-Lubab (fikih), Tuhfah al-Bari ‘ala Shahih al-Bukhari(hadits), Syarh Isaghuji (mantiq), Syarh as-Syafi’iyah li Ibn Hajib (nahwu), Fath ar-Rahman bi Kasyf Ma Yaltabisu fi al-Qur’an (tafsir) dan masih banyak yang lain. Bagi
kalangan santri dan pelajar, nama Syaikh Al-Islam Zakariyya Al-Anshari
sedemikian lekatnya di hati mereka. Ulama sekaligus penulis dengan
segudang aktivitas ini adalah pengarang kitab fiqih Minhaj ath-Thullab
dan Fath al-Wahhab, yang rutin dikaji di berbagai institusi keislaman,
seperti pesantren, madrasah, maupun majelis ta’lim. Di
kalangan ulama Syafi’iyyah kontemporer, dalam penggalian hukum,
mereka banyak merujuk pada kitab Nihayatul Muhtaj dan Tuhfatul Muhtaj.
Namun apabila ada persoalan yang tidak dibahas di kedua kitab itu,
karya-karya Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari-lah yang dijadikan
acuan, khususnya kitab Minhaj ath-Thullab dan Al-Ghurar al-Bahiyyah. Ini
menunjukkan bahwa kapasitas pengarangnya memang sangat diakui di
kalangan ulama Syafi’iyyah. Gerangan siapakah tokoh besar ini? Bagaimanakah sepak terjang keilmuannya? Hidup Prihatin Nama
lengkapnya adalah Zainuddin Abu Yahya Zakariyya bin Muhammad bin Ahmad
bin Zakariyya Al-Anshari Al-Khazraji As-Sunaiki Al-Qahiri Al-Azhari
Asy-Syafi’i. Tak ada kepastian tahun kelahirannya, namun Imam
As-Suyuthi, ulama yang hidup semasanya dan juga kawannya, memprediksi,
tahun kelahiran Al-Anshari adalah 824 H, di Sunaikah, desa kecil yang
terletak antara kota Bilbis dan Al-Abbasiyah, timur Mesir. Semenjak
balita ia telah ditinggal wafat ayahnya. Zakariyya adalah putra
satu-satunya pasangan suami-istri yang berpisah oleh kematian itu. Hanya
berdua dengan ibunya, Zakariyya kecil menjalani kehidupan yang cukup
berat. Al-Ghuzzi menceritakan dari Syaikh Shalih Rabi’ bin Abdullah
As-Sulami bahwa suatu ketika Syaikh Shalih berkunjung ke Desa Sunaikah,
kampung halaman Zakariyya, dan mendapati seorang perempuan yang meminta
pekerjaan kepadanya, demi keluarganya. Wanita itu tak lain adalah ibu
Zakariyya. Ibu Zakariyya lalu meminta kepada Syaikh Shalih untuk membawa Zakariyya ke kota besar Kairo. Syaikh
Shalih berkata, “Jika Ibu setuju, akan saya bawa Zakariyya ke Al-Azhar
untuk membantu pekerjaan dan sekaligus belajar di sana. Saya akan
menanggung kehidupannya.” Sang ibu pun menyetujuinya, demi masa depan putranya. Semasa
tinggal di Desa Sunaikah, Zakariyya kecil sudah mahir membaca Al-Qur’an
dan mempelajari kitab ‘Umdah al-Ahkam dan Mukhtashar at-Tabrizi. Kesukaannya
terhadap bidang hafalan berlanjut saat ia belajar di Al-Azhar. Dalam
rentang waktu yang terbilang pendek, Zakariyya muda telah hafal
Al-Qur’an dan beberapa kitab, seperti Al-Minhaj, Alfiyah Ibn Malik,
Asy-Syathibiyyah, Alfiyyah al-Hadits, dan beberapa kitab lainnya. Inilah rihlah pertamanya belajar ke Al-Azhar. Tak lama setelah itu, ia kembali ke kampung halamannya, untuk bekerja. Beberapa
waktu kemudian Zakariyya muda kembali ke Kairo untuk kembali belajar di
Al-Azhar. Pada rihlah keduanya ini, ia belajar kitab Syarh al-Bahjah,
Al-‘Adhud, Syarh al-‘Ibari, Syarh Tashrif al-‘Izzi, dan banyak lagi. Ia
mempelajari hampir semua kitab dalam berbagai macam cabang keilmuan,
termasuk matematika, seni menulis indah, dan ilmu retorika. Ghirahnya
yang begitu besar untuk belajar telah menempatkannya pada hasil yang
memuaskan. Jangan heran bilamana para gurunya pun memberi pujian dan
ijazah yang sempurna. Tak kurang dari 150 ijazah diberikan kepadanya,
termasuk ijazah dari Al-Hafizh Al-Asqalani, yang menuliskan kata-kata
dalam ijazahnya, “Aku izinkan bagi Zakariyya untuk membaca Al-Qur’an
dengan jalur periwayatan yang ditempuhnya, dan mengajarkan fiqih yang
telah dituliskan dan diserahkan Al-Imam Asy-Syafi’i. Kepada Allah, kami,
aku dan Zakariyya, memohon pertolongan untuk kelak dapat bersua
dengan-Nya.” Para
ulama selain Al-Asqalani juga memberikan pujian dan izin yang sama,
sehingga, sebagaimana dikatakan Al-‘Aydarusi, sudah menjadi hal yang
lumrah bilamana Zakariyya muda telah dibolehkan mengajar di samping
para gurunya. Inilah yang menjadi cikal bakal keulamaannya pada waktu
berikutnya. Tentang
akhlaqnya, Al-‘Ala-i berkata, “Al-Qadhi Zakariyya telah menyatukan ilmu
pengetahuan, wawasan, dan karya tulisnya, dengan akhlaqnya yang mulia
dan kebaikan langkahnya di hadapan para ulama besar yang diambil
ilmunya, yang belum pernah ada pada ulama sebayanya.” Ia
juga mengutarakan rasa terima kasihnya yang mendalam kepada Syaikh
Rabi’ bin Abdullah As-Sulami beserta keluarga, yang telah merawat dan
mendidiknya dengan penuh perhatian. “Bagiku, Syaikh Rabi’ adalah orang
yang utama. Maka mudah-mudahan Allah mencukupi segala kebutuhannya,
mengangkat kemuliaan untuknya dan keluarganya, khususnya istrinya, yang
telah membesarkan dan merawatku,” ujar Zakariyya. Namun
tidak sepenuhnya Zakariyya muda mengandalkan penghidupan yang diberikan
dengan penuh kasih sayang dari keluarga Syaikh Rabi’ itu. Pernah suatu
waktu ia memilih untuk meninggalkan kediaman keluarga yang amat baik
kepadanya itu, dengan menetap di emperan masjid Al-Azhar. Bila malam
terasa dingin dan membuat perutnya lapar, ia menahannya, atau terpaksa
memakan sisa makanan, seperti kulit semangka, yang sudah dibuang orang. Posisi Keilmuan Guru
Syaikh Zakariyya sangat banyak. Menurut para penulis biografi ulama,
guru Zakariyya mencapai lebih dari 150 orang. Di antara guru-gurunya
yang terkemuka adalah Syaikh Zainuddin Abu Dzar Abdurrahman bin Muhammad
Az-Zarkasyi Al-Hanbali, Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Ali Al-Qayati,
Ibn Al-Majdi Syaikh Abu Al-‘Abbas Ahmad bin Rajab bin Thubaigha
Asy-Syafi’i, Ibn Al-Furat Al-Qadhi ‘Izzuddin Abdurrahim Al-Mishri
Al-Hanafi, Syaikh al-Hafizh Abu Al-Fadhl Ahmad Al-‘Asqalani, Syaikh Abu
Al-Yaman Muhammad bin Muhammad Al-Hasyimi Al-‘Uqaili Al-Makki, Syaikh
Abu Al-Fath Muhammad bin Abubakar Al-Qurasyi Al-‘Utsmani, Ibn Zhuhairah
Muhammad Al-Qurasyi Al-Makhzumi Al-Makki, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad
Al-Mahalli, Muhyiddin Al-Kafiyaji. Sedangkan
di antara murid-muridnya yang terkenal adalah Hamzah bin Abdullah
An-Nasyiri Al-Yamani, Jamaluddin Abu Abdillah Abdul Qadir bin Hasan
Ash-Shani Al-Qahiri, Tajuddin Abdul Wahhab Ad-Danjihi Al-Mishri, ali bin
Muhammad Al-Maqdisi, Al-Imam Al-‘Allamah Fakhruddin Utsman
As-Sinbathi, Al-Qadhi Muhammad bin Ahmad Al-Farfur Ad-Dimasyqi, Syaikh
Taqiyyuddin Abubakar bin Muhammad Al-Qari Ad-Dimasyqi, dan lain-lain. Syaikh
Zakariyya mempunyai posisi keilmuan di berbagai tempat di Mesir,
seperti di majelis Imam Asy-Syafi’i, yang juga sekaligus makamnya.
Tentang hal ini Al-‘Aydarusi berkata, “Tidak ada ulama seperti Syaikh
Zakariyya yang menempati kedudukan mengajar di majelis Imam
Asy-Syafi’i.” Kemudian mengajar di khanaqah (tempat untuk khalwat) kaum
sufi, dan menjabat kepala hakim (qadhi al-qudhat) pada masa
pemerintahan Dinasti Qaitbay selama 20 tahun. Tentang
sebab akhir posisinya sebagai kepala hakim, ada beberapa riwayat
menyatakan hal yang berbeda. Ada yang mengatakan lantaran usianya telah
uzur dan matanya buta, ada pula yang menyatakan lantaran terjadi
perselisihan antara Syaikh Zakariyya dan Sultan Muhammad Qaitbay. Berbagai Bidang Di
samping berbagai kesibukannya itu, Syaikh Zakariyya juga menyempatkan
waktunya untuk menulis buku. Ia dikenal sebagai penulis syarah dan
hasyiyah yang ulung. Ini menunjukkan keluasan dan kedalaman
pengetahuannya, sebagaimana tampak dalam karya-karyanya. Karya-karya
Syaikh Zakariyya berkisar pada bidang aqidah, fiqih, ushul fiqh,
faraidh, manthiq, tasawuf, hadits, nahwu, dan sebagainya. Tak kurang
dari 50 karya dalam berbagai bidang tersebut yang ditulisnya semasa
hidupnya yang panjang. Di
antara karya syaikh Zakariyya adalah Ahkam ad-Dilalah ‘Ala Tahrir
ar-Risalah (syarah atas kitab tasawuf Imam Al-Qusyairi, Ar-Risalah
al-Qusyairiyyah), Adab al-Qadhi ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i, Adhwa`
al-Bahjah fi Ibraz Daqa`iq al-Munfarijah, Bulugh al-Arab bi Syarh
Syudzur adz-Dzahab (syarah atas kitab Nahwu Ibn Hisyam, Syudzur
adz-Dzahab), Bahjah Al-Hawi (syarah kitab fiqih Al-Hawi ash-Shaghir
karya Al-Qazwaini), Tahrir Tanqih al-Lubab, Tuhfah ath-Thullab, Lubb
al-Ushul, At-Tuhfah al-‘Aliyyah fi al-Khithab al-Minbariyyah, Tuhfah
Nujaba` al-‘Ashr, Hasyiyah ‘ala Syarh Alfiyyah Ibn Malik, Hasyiyah ‘ala
Syarh al-Mahalli ‘ala Jam’i al-Jawami’, Hasyiyah ‘ala Syarh al-Bahjah li
al-‘Iraqi, Hasyiyah ‘ala Syarh al-Muqaddimah al-Jazariyyah, Ad-Durar
as-Saniyyah fi Syarh Alfiyyah, Az-Zubdah ar-Ra`iqah fi Syarh al-Burdah
al-Fa`iqah, Syarh Al-Jami’ ash-Shahih lil Bukhari, Syarh Shahih Muslim,
Syarh asy-Syamsiyyah, Syarh Thawali’ Al-Anwar lil Baydhawi, Syarh
Mukhtashar lil Muzani, Ghayah al-Wushul ila Syarh al-Fushul, Al-Ghurar
al-Bahiyah bi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah, Fath al-Ilah al-Majid, Fath
al-Baqi bi Syarh Alfiyyah al-‘Iraqi, Fath al-Jalil bi Bayan Khafiy Anwar
at-Tanzil, Fath al-Wahhab bi Syarh al-Adab, Fath al-Wahhab bi Syarh
Minhaj ath-Thullab, Al-Futuhat al-Ilahiyyah fi Naf’i Arwah adz-Dzawat
al-Insaniyyah, Al-Lu`lu` an-Nazhim fi Rawm at-Ta’allum wat Ta’lim,
Al-Mathla’ fi Syarh Isaghuji, Al-Maqshad li Talkhish mafi al-Mursyid,
Manhaj al-Wushul ila Takhrij al-Fushul, Nihayah al-Hidayah fi Syarh
al-Kafiyah, dan Nahj ath-Thullab fi Minhaj ath-Thalibin lin Nawawiy. Faqih dan Sufi Secara
istiqamah Syaikh Zakariyya belajar mengaji di Al-Azhar dan
halaqah-halaqah gurunya. Ia mendengarkan pengajian para ulama, baik
ulama ahli fiqh maupun tasawuf secara khusus, hingga akhirnya ia pun
menjadi seorang tokoh fiqih dan tasawuf. Syaikh
Abdul Wahhab Asy-Sya’rani berkata, “Selama dua puluh tahun melayani
beliau, tidak pernah saya dapati beliau alpa sedikit pun. Beliau tidak
pernah melakukan suatu pekerjaan yang tidak ada artinya, baik siang
maupun malam.” Seiring
dengan bertambahnya usia, ia selalu melakukan shalat sunnah secara
sempurna. Ia berkata, “Saya tidak ingin diri ini kembali ke pangkuan
Allah sebagai seorang yang malas.” Dalam waktu yang cukup lama, ia menyempatkan diri untuk berdiam diri dalam sebuah khanaqah bernama Sa’id As-Su’ada‘. Dalam
khanaqah ini, ia selalu berkumpul dengan para ahli sufi untuk
mengambil manfaat dari ilmu mereka. Demikian juga mereka mengambil
manfaat ilmunya dalam fiqih dan pengetahuan syari’at lainnya. Kehidupan
di khanaqah ini banyak mempengaruhi alam pikirannya, sehingga
lahirlah beberapa karya di bidang ini, seperti Ahkam ad-Dilalah,
Al-Ghurar al-Bahiyah, serta Fath al-Jalil bi Bayan Khafiy Anwar
at-Tanzil, sebuah catatan pinggir dalam kitab tafsir Al-Baidhawi. Khanaqah
Sa’id As-Su’ada’ merupakan tempat yang sangat bersejarah dalam
sejarah karya intelektualnya. Tempat kaum sufi berkumpul ini konon
adalah pertama kali yang berdiri di Mesir bagi kaum sufi. Syaikh
Zakariyya telah mempersiapkan dirinya di khanaqah ini untuk menulis
beberapa karyanya yang besar, misalnya Syarh al-Bukhari. Syeikh Zakaria datang ke Mesir Syeikh
agung yang sangat akrab di telinga para santri ini datang ke Mesir pada
masa pemerintahan Qaitbay. Di Mesir ia memperdalam kelimuan di al-Azhar
pada saat masih usia 18 tahun. Tentang kisah kehidupan syekh Zakaria
sejak mulai datang ke Mesir hingga akhir hidupnya, beliau ceritakan
kepada muridnya, Syeikh Sya'rani : "Kamu
mau aku beritahu tentang perjalanan saya dari awal hingga akhir ?
Maksudku supaya ilmu kamu menjadi dalam, dan seolah-olah kamu hidup
dengan saya sejak dari awal". Dengan
senang hati Syeikh Sya'rani menjawab tentu saja saya mahu Tuan. "Aku
datang dari kampung, saat itu aku masih seorang pemuda yang lugu. Belum
ada satupun tempat penampungan, juga belum ada seorangpun yang
memperhatikan aku." Begitu Syeikh Zakaria mulai bercerita. "Keadaan
semacam itu tidak membuatku surut untuk memperdlam ilmu
keislaman.Ibarat orang minum air lautan, semakin aku meminumnya aku
semakin haus dan seperti mau meraih semuanya". Lanjut Syekh agung ini yang disimak khusyu' murid sejatinya. "Suatu
malam, aku lupa kapan itu terjadi, aku keluar mengambil kulit semangka
yang tergeletak hina di samping tempat wudlu. Aku mencucinya dan makan
rizki yang bagiku itu sangat berarti. Rupanya kebiasaan orang miskin
yang aku jalani ini diketahui oleh seseorang yang kemudian aku ketahui
bekerja di tempat penggilingan gandum. Mungkin karena iba dengan
nasibku, tapi yang pasti beliau sangat baik dan berjasa dalam hidupku,
orang itu membelikan aku semua kebutuhanku dari buku-buku dan pakaian. "Zakaria,
jangan pernah meminta sesuatu kepada siapapun. Apapun yang kamu
perlukan akan aku penuhi" demikian ucap orang mulia ini suatu ketika. Hal
ini berlangsung bertahun-tahun. Hingga suatu ketika di malam yang sepi,
ketika orang-orang sedang tidur, tiba-tiba sang dermawan itu
mendatangiku "Bangunlah", begitu ucapnya tiba-tiba. Aku
berjalan mengikuti langkah-langkahnya dan berhenti di suatu tangga
tempat bahan bakar. Tangga itu lumayan tinggi. Di tengah pikiranku yang
berkecamukmengapa aku dibawa ke tempat ini tiba-tiba orang mulia itu
berkata kepadaku: "Naiklah " "Naik tangga ini ?"aku bertanya dalam bimbang. "Ya, naikilah tangga itu. " Aku menaiki tangga itu dengan pelan dan terus berpikir apa makna semua ini. Orang tua asuhku it terus bilang, "Ayo terus naik, terus ". setelah aku sampai di puncak beliau berkata : "Kamu
akan tetap hidup sementara semua kawan sezamanmu telah mati. Kamu akan
unggul melebihi semua ulama Mesir. Murid-muridmu akan menjadi
syekh-syekh besar. Inilah yang terjadi dalam kehidupanmu hingga tertutup
penglihatanmu". "Berarti aku akan menjadi buta?" ratapku seketika. Beliau berkata: "Sabarlah itu sudah menjadi suratan wajib bagimu". Sejak
saat itu, aku tidak pernah bertemu beliau lagi. Syeikh Zakaria,
aktiviti keilmuan dan kesufian . Secara konsisten Syekh Zakaria belajar,
mengaji di al-Azhar. Beliau mendengarkan pengajian para ulama, para
ahli fikih serta para ahli tasawwuf secara khusus. Hingga
akhirnya beliau menjadi seorang tokoh aliran fikih dan tasawwuf. Bagi
sufi agung ini waktu mempunyai arti yang sangat besar. Dalam hal ini,
Syekh Sya'roni berkata: "Saya
telah melayani beliau selama 20 tahun. Sungguh saya tidak pernah
mendapatkan dirinya lupa sedikitpun. Beliau tidak pernah melakukan suatu
pekerjaan yang tidak ada artinya, baik siang maupun malam”. Seiring dengan merangkaknya usia, beliau selalu melakukan shalat sunnah secara sempurna. Beliau berkata: "Saya tidak ingin diri ini kembali menjadi seorang yang malas". Apabila beliau didatangi oleh seseorang yang banyak omongnya, beliau akan langsung berkata: "Kamu telah menyia-nyiakan waktu kita". Dalam
waktu yang cukup lama beliau selalu menyempatkan diri untuk berdiam
diri dalam sebuah khanqah saidus suada' (tempat berkontemplasinya para
sufi). "Sejak
kecil saya telah menyukai Thariqah kaum sufi. Kesibukanku selalu aku
isi dengan membaca buku-buku mereka dan mengambil pelajaran dari tingkah
laku mereka, serta berkumpul dengan para ahli tasawwuf" demikian Syekh
Zakaria berujar suatu ketika. Dalam
khanqah ini beliau selalu berkumpul dengan para ahli sufi untuk
mengambil manfaat dari ilmu mereka. Demikian juga mereka mengambil
manfaat ilmu beliau dalam fikih dan syariat. Kehidupan beliau di dalam
khonqoh banyak mempengaruhi beberapa karangan beliau, seperti syarah
risalah al-qusyairi (ilmu tasawwuf), qowaid sufiah ( kaedah-kaedah
sufi), serta catatan pinggir beliau dalam kitab Tafsir Baidlowi. Kiranya
sangat bermanfaat di sini untuk mengetahui sejarah khanqah saidus
suada'. Tempat
itu adalah pertama kali yang didirikan di Mesir. Sekaligus merupakan
tempat untuk berkontemplasi Syekh Zakaria untuk waktu yang lama. Syekh
Zakaria telah mempersiapkan dirinya di khanqah saidus suada' untuk
menulis beberapa karangannya yang besar, sebut saja misalnya: Syarh Bukhari. Kadang-kadang beliau menyuruh muridnya Syekh Sya'roni untuk membantu menulis. Syekh Sya'roni berkata: "Tulisan saya bagus". Dia menambahkan, "Apabila
saya duduk dengan beliau, seolah-olah saya duduk dengan para raja yang
shalih yang arif. Mufti besar Mesir, para pangeran dan pembesar ketika
duduk di hadapan beliau seperti anak-anak kecil". Karamah Syeikh Zakaria al-Anshari Raja
al-Ghouri suatu ketika marah karena satu peristiwa. Ketika dia tahu
akan kedatangan Syekh Zakariya untuk menyelesaikan masalah ini, dia
memerintahkan supaya di depan rumahnya dipasang rantai. Ketika Syekh
Zakariya meihat ada rantai, beliau memotong rantai tadi dengan kertas
yang ada di tanganya. Selanjutnya beliau masuk bersama para penduduk.
Tertulis dalam biografi beliau, bahwa permulaan "Kasyf" (tersingkapnya
rahasia ilahi) muncul setelah beliau mengarang syarah bahjah, di mana
orang-orang tidak mengakui bahwa itu merupakan karangan beliau. Mereka
menulis kitab al-A'ma wal Bashir sebagai komentar dan celaan terhadap
beliau. Dalam kitab ini Syekh Zakaria bercerita : "Aku adalah orang yang doanya selalu dikabulkan. Setiap aku mendoakan seseorang,maka doa permohonan itu pasti diterima". "Waktu
itu aku sedang i'tikaf di sepuluh hari terakhir bulan ramadhan di
Masjid al-Azhar, demikian beliau melanjutkan kisah Kasyaf –nya,
tiba-tiba aku didatangi seorang pedagang dari Negeri Syam. "Mata saya telah buta," kata orang itu membuka kata, "orang-orang menunjukkan saya agar datang kepadamu wahai Syekh, doakan saya supaya penglihatan saya dikembalikan" Kemudian saya berdoa kepada Allah memohon supaya penglihatannya dikembalikan. "Kalau penglihatanmu dikembalikan, kamu harus meninggalkan negeri ini". Begitu aku katakan kepadanya, karena
dalam kasyf-ku ia sembuh dalam sepuluh hari. Juga karena aku takut jika
dia sembuh di Mesir, dia akan cerita pada orang banyak. Maka pergilah
pedagang tersebut dan dikembalikan penglihatannya di Gaza (Palestina). Setelah sembuh dia mengirim surat dan saya membalasnya, "Jika engkau kembali ke Mesir, maka kamu akan buta lagi", Dan demikianlah, dia terus menetap di al-Quds sampai akhirnya mati dalam keadaan tidak buta. “Makamku dekat Makam Imam Asy-Syafi’i” Syaikh
Zakariyya berpulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Dzulhijjah 926 H/27
November 1520 M dalam usia 100 tahun lebih. Selama itu hidupnya diisi
penuh dengan ilmu, pendidikan, dakwah, dan mengajar, hingga ia diuji
dengan kebutaan mata. Syaikh
Asy-Sya’rani berkisah tentang kenangan sebelum wafatnya, wujud karamah
yang Allah berikan kepada Syaikh Zakariyya. “Suatu hari aku mengaji
Syarh Al-Bukhari kepada Syaikh Zakariyya. Saat aku tengah membaca, ia
berkata, ‘Cukup, ceritakan kepadaku mimpimu semalam.’ Memang
aku bermimpi. Aku bersama Syaikh Zakariyya berada dalam suatu kapal
yang layarnya dari sutra, permadaninya dari sutra hijau tipis, dan ada
banyak balai-balai dan bantal dari sutra. Di situ aku melihat Imam
Asy-Syafi’i tengah duduk dan Syaikh Zakariyya berada di sampingnya.
Kapal ini terus berjalan menyusuri taman-taman dan pemandangan lainnya
yang sangat indah dan mengesankan. Selesai
aku bercerita tentang mimpi itu, Syaikh Zakariyya berkata, ‘Kalau
mimpimu ini benar, kelak aku akan dimakamkan di samping Imam Syafi’i
RA’.” Ketika
Syaikh Zakariyya meninggal, para muridnya telah menyiapkan makam
untuknya di Bab An-Nashr, jauh dari pemakaman Imam Asy-Syafi’i. Ketika
Asy-Sya’rani mengisahkan ihwal mimpi dan dialognya dengan sang guru,
seorang kawannya menuduhnya dusta. Pada
saat ta’ziyah itu, utusan dari Pangeran Khair Beik, wakil Sultan
Qaitbay, berkata, “Raja sedang sakit saat ini sehingga tidak mampu
datang berta’ziyah. Raja memerintahkan kalian untuk membawa jenazah
Syaikh Zakariyya ke Lapangan Qal’ah untuk dishalati di sana.” Usai
shalat Jenazah, yang dihadiri ribuan manusia, Pangeran Khair Beik
berkata, “Makamkan Syaikh Zakariyya di pekuburan Syaikh Najmuddin
Al-Khayusyani di depan makam Imam Asy-Syafi’i.” Ucapannya saat masih
hidup pun terbukti di saat wafatnya itu. Subhanallah! Syaikh
Zakariyya meninggalkan beberapa orang putra yang meneruskan jalan
kealimannya, di antaranya Jamaluddin Yusuf bin Zakariyya, yang disebut
sebagai ‘alim al-‘allamah (seorang yang pintar dan berpengetahuan amat
luas). Menurut Haji Khalifah, seorang ulama lainnya, putra Syaikh
Zakariyya ini menulis syarah beberapa kitab mukhtashar (ringkasan)
Madzhab Syafi’iyyah, seperti kitab At-Tahrir fi Ushul al-Fiqh li Ibn
Hammam. Putranya
yang lain yang memiliki nama yang sama dengannya, Zakariyya, juga
dikenal kealimannya. Cucunya pun demikian, yang juga bernama Zakariyya,
dikenal sebagai ulama terpandang. Dalam hal ini, Al-Ghuzzi, seorang
penulis biografi ulama, menyebutkan, “Zakariyya putra Zakariyya, seorang
guru besar yang alim, cucu guru besar umat Islam Al-Qadhi Zakariyya
Al-Anshari, adalah seorang cucu yang disayangi oleh kakeknya dengan
penuh kasih sayang.” Rujukan : Ihya’ Ulumuddin (Imam Ghazali). Bihar al-Wilayah al-Muhammadiyyah fi Manaqib A’lam al-Sufiyyah (DR. Jaudah M Abu al-Yazid al-Mahdi). Husnul Muhadlarah (Imam Suyuthi). Syahsiyyat Istauqafatni (DR Said al-Bouti). Al-Kaukab al-Dzurriyyah (al-Munawi). Mursyid al-Zuwwar ila Qubur al-Abrar (Muhammad Fathi Abu Bakr). Masajid Misr wa Auliya’uhu al-Shalihin (DR. Suad Mahir) |
Komentar
Posting Komentar