Nama
lengkapnya adalah Ma'ruf bin Faizan Abu Mahfudz al-Ibid bin Firus
Al-Karkhi. Meski lama menetap di Baghdad, Irak, ia sesungguhnya berasal
dari Persia, Iran. Hidup di zaman kejayaan Khalifah Harun Al-Rasyid
dinasti Abbasiyah, namun para ahli sejarah tidak ada yang mengetahui
tanggal dan tahun berapa beliau dilahirkan. Beliau adalah seorang sufi
yang dikenal dengan Al-Karkhi, sebuah nama yang dinisbatkan kepada nama
tempat kelahirannya Al-Karkhi.
Beliau
dibesarkan di Baghdad dan dikota itu pula beliau menimba berbagai macam
ilmu kepada para ulama fiqih dan memperdalam ilmu tasawuf kepada para
sufi terkenal. Dari pergaulan dengan para sufi itulah membawa beliau
menjadi seorang zahid. Sealain
belajar di Baghdad, beliau juga mengembara kenegeri-negeri lain untuk
menambah wawasan keilmuannya. Pengembaraan itu membawa dirinya banyak
dikenal di negerri orang dan ia pun banyak dikunjungi banyak orang
sehingga ia bukan hanya dikenal oleh penduduk bumi, namun juga dikenal
oleh penghuni langit.
Menurut
pakar sejarah, kedua orang tuanya memeluk agama Kristen dan menurut
yang lain menganut agama Sabiah. Diriwayatkan katika Ma’ruf al-Karkhi
pada usia meningkat remaja ia sangat menentang ajaran gurunya yang
mengatakan bahwa Allah merupakan salah satu oknum Tuham. Ma’ruf
al-Karkhi menentang pendapat ini katanya Tuhan hanya satu. Karena
pendapatnya yang berbeda dengan pendapat gurunya, ia dipukul oleh
gurunya dan ia melarikan diri dan bersembunyi. Karena kedua orang tuanya
telah kehilangan anak yang dicintainya dan mengharap kepulangan anaknya
dan orang tuanya berjanji kalau anaknya mau pulang agama apa saja yang
dipeluk anaknya dianut juga oleh kedua orang tuanya. Setelah sekian lama
ia memeluk agama Islam di bawah bimbingan Ali bin Musa al-Ridha,
setelah ia pulang dengan mengatakan bahwa ia telah memeluk agama Islam
yang kemudian disusul oleh kedua orang tuanya.
Ma’ruf
al-Karkhi mempelajari agama Islam melalui sejumlah ulama di Bagdad yang
di antaranya Daud al-Thai. Bakar bin Humais dan Farqad as-Sabukhi.
Karena ketekunannya dan ketabahannya dalam menuntut ilmu pengetahuan dan
khususnya ilmu tasawuf, ia berhasil menjadi sesufi yang terkemuka di
Bagdad. Ia membuka halaqah pengajian dan di antara murid-muridnya yang
terkenal di kemudian hari adalah Sari al-Saqati. Sebagai sesufi ia juga
dikenal di kalangan fukaha sebagai seorang fakih. Diriwayatkan ada dua
orang fakih Bagdad yang terkemuka; Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu
Main berdiskusi tentang sujud sahwi dan keduanya belum sepakat. Untuk
lebih lanjut mereka berdua ingin menanyakan pendapat Ma’ruf al-Karkhi.
Ma’ruf al-Karkhi menjawab dari sudut pendang tasawuf katanya: sujud
sahwi merupakan hukuman kepada hati karena lalai mengingat Allah.
Ma’ruf
al-Karkhi menurut pada peneliti tasawuf sebagai tokoh yang
memperkembangkan ajaran tasawuf. Ia menambah hasil perolehan jiwa dari
cinta yang telah ditemukan oleh Rabiatul Adawiyah. Menurutnya cinta
harus dilanjutkan sampai ke titik thuma’ninah (ketenangan) jiwa. Karena
cinta dan ketenangan itulah yang menjadi tujuan tasawuf. Kebahagiaan
yang sebenarnya dan yang kekal, bukan harta benda tetapi kekayaan yang
sebenarnya adalah kekayaan hati. Kekayaan hati hanya dapat dicapai
melalui ma’rifah (pengenalan) akan yang dicinta. Apabila yang dicintai
telah dikenal, terwujudlah kebahagiaan dan ketenteraman dalam hati dan
kecillah segala urusan kebendaan dalam penglihatan hati. Ma’ruf al-Kakhi
dipandang oleh para peneliti tasawuf sebagai tokoh penting yang
merupakan pengembang ajaran tasawuf yakni memunculkan teori baru dalam
tasawuf ialah melalui mencari ma’rifah sebagai inti ajaran tasawufnya.
Kalau dahulu ajaran tasawuf baru berkisar berupa ajaran zuhud dan tekun
beribadah untuk memperoleh keredhaan Allah. Pandangan ini berdasarkan
penelitian kepada makna tasawuf itu sendiri. Di antara makna tasawuf
yang dibawakan Ma’ruf al-Karkhi ialah tasawuf adalah memperoleh hakikat
(ma’rifat) dan tidak mengharap sama sekali apa yang berada di tangan
makhluk. Mencari hakikat tidaklah berbeda dengan mencari ma’rifat itu
sendiri karena ma’rifat adalah ujung ilmu pengetahuan yang dikembangkan
sufi ialah ilmu syariat, ilmu thareqat, ilmu hakikat, dan ilmu ma’rifat.
Ma’ruf
al-Karkhi menurut sufi sebagai shufi yang dikuasai oleh perasaan cinta
yang membara kepada Allah seperti halnya Rabiatul Adawiyah. Berkenaan
dengan cinta kepada Allah Ma’ruf al-Karkhi mengatakan: cinta kepada-Nya
bukanlah diperoleh melalui pengajaran ia merupakan pemberian atau kurnia
Tuhan. Pernyataan ini yakni cinta kepada Allah menurutnya bukan
termasuk maqam (posisi yang didapat melalui usaha) tetapi termasuk hal
(keadaan jiwa) yang dikurniakan Allah.
Menurut
para peneliti Barat yang di antaranya Nicholson yang mencoba
menghubungkan antara timbulnya ide memperoleh hakikat (ma’rifat) dengan
latar belakang keagamaan Ma’ruf al-Karkhi di masa kecilnya. Menurut
Nicholson ide itu berasal dari ajaran agama yang dipeluknya yang dahulu
ialah Kristen atau Sabiah. Pendapat yang seperti ini hanya merupakan
dugaan alasannya pada masa kecil Ma’ruf al-Karkhi belum tentu mengenal
ajaran tentang hakikat bahkan dugaan besar ia belum mengenalnya karena
usianya yang masih muda. Muncul ide mencai hakikat itu, mungkin saja
hasil dari tafakur atau renungannya dalam tasawuf.
Menurut
sufi martabat yang tinggi yang dicapai oleh Ma’ruf al-Karkhi tidak
disangsikan lagi. Mereka beralasan dengan mimpi Ahmad bin Fath yang
bertemu dengan Bisyir bin Haris yang telah wafat lebih dahulu. Ahmad bin
Fath menyatakan tentang keadaan yang dialami Ma’ruf al-Karkhi dirinya
diampuni Allah. Kulihat Ahmad bin Hanbal berdiri sedang antara mereka
terdapat pembatas. Karena Ma’ruf al-Karkhi menyembah Tuhan bukan
mengharap surga, tidak pula karena takut kepada neraka, karena itu ia
diangkat ke tempat yang tinggi yang tidak ada pembatas antaranya dengan
Tuhan. Begitulah pengakuan orang-sufi tentang martabat Ma’ruf al-Karkhi.
Menurut
sufi bahwa Ma’ruf al-Karkhi seperti halnya para zahid dan shufi
lainnya. Ma’ruf al-Karkhi terkenal di kalangan shufi memiliki banyak
keramat yang di antaranya ketika terjadi kemarau panjang ia berdoa dalam
shalat istisqa meminta hujan, sebelum doanya selesai hujan turun.
Kemudian
di belakangnya datang lagi Haris al-Muhasibi, yang menambah ajaran
tasawuf Ma’ruf al-Karkhi dengan persatuan (ittihad). Haris al-Muhasibi
nama lengkapnya Abu Abdullah al-Haris bin Asad al-Basri adalah ulama
yang namanya sangat menonjol dalam bidang tasawuf di zamannya. Ia
dilahirkan di kota Basrah pada tahun 165 H/781 M kemudian pindah ke
Bagdad ibu kota negara Bani Abbasiyah dan meninggal di kota itu pada
tahun 242 H/895 M pada usia 78 tahun.
Pada
awal kehidupan intelektual al-Muhasibi berkecimpung dan menggeluti ilmu
hadis dan tasawuf sehingga ia sangat matang dalam kedua ilmu itu.
Al-Muhasibi menimba ilmu hadis dan fikih dari para ulama yang terkenal
di zamannya. Di antaranya guru-gurunya dalam fikih ia belajar dengan
Imam Syafi’i, Abu Ubaid al-Qasimi bin Salam, dan Kadi Abu Yusuf. Dan
dalam bidang ilmu hadis ia belajar dengan Hasyim, Syuraih bin Yunus,
Yazid bin Haran, Abu an Nadar, dan Suwaid bin Daud.
Al-Muhasibi
tidak seperti ulama-ulama hadis dan fikih di masa itu yang membatasi
telaahan pada bidang yang ditekuninya tetapi al-Muhasibi juga memberikan
perhatian besar terhadap perkembangan politik dan kehidupan sosial.
Perkembangan pemikiran teologi Islam (ilmu kalam) di masanya, diikutinya
denga seksama, ia mempelajari dan memahami dengan baik pemikiran
Mu’azilah, Syi’ah, Khawarij, jabariyah, dan Qadariyah. Sekalipun
al-Muhasibi tidak sependapat dengan aliran Mu’tazilah namun aliran ini
sangat mempengaruhi cara berpikirnya di antaranya menghargai akal dalam
memahami agama dan untuk mencapai kebenaran. Dalam dua ilmu yang ia
tekuni, ia juga menelaah perilaku dan ucapan-ucapan para zahid (ahli
ibadah) yang hidup sebelumnya, seperti Hasan Basri, Iberahim bin Adham,
Daud al-Thai dan Fudhail bin Iyad dan juga pemikiran-pemikiran para
zahid di zamannya seperti Syaqiq al-Balkhi, Ma’ruf al-Karkhi, Bisyar
Khafi, Zi Nun al-Misri dan Sirri al-Saqati.
Telaahannya
yang begitu luas yang menjadikan dirinya menjadi ulama terkemuka di
zamannya. Persaksian dari tiga orang penulis sejarah tasawuf di
belakangnya mengakui keluasan wawasan ilmu al-Muhasibi seperti
al-Qusyairi yang menulis dalam bukunya “al-Risalah al-Qusyairiyah”
menyatakan al-Muhasibi adalah seorang ulama yang tidak ada tolok
bandingnya di zamannya, baik dalam bidang fikih maupun dalam bidang
tasawuf. Al-Tamimi menggambarkan bahwa al-Muhasibi merupakan imam kaum
muslimin dalam bidang hadis, fikih, ilmu kalam, dan tasawuf. Dan Ibnu
Khaldun menulis dalam bukunya “Al-Muqaddimah” mengakui al-Muhasibi
menghimpun ilmu fikih batin, ilmu fikih lahir, ilmu fikih wara’, dan
ilmu akhirat.
Di
samping ilmu-ilmu yang dimilikinya al-Muhasibi dalam bidang hadis dan
fikih, ia juga menggeluti ilmu dalam bidang tasawuf bahkan namanya
sangat populer di kalangan para shufi. Ia mempelajari tasawuf pada usia
tiga puluh tahu, dalam pengakuannya katanya “telah berlalu masa selama
tiga puluh tahun dan selama itu aku tidak pernah mendengar sesuatu
kecuali dari kepalaku. Kemudian berlalu pula masa selama tiga puluh
tahun yang selama itu aku tidak pernah mendengar sesuatu kecuali dari
Allah”.
Dalam
ungkapan di atas, ia menegaskan setelah ia bergaul selama tiga puluh
tahun dengan ilmu pengetahuan yang memerlukan analisa pemikiran seperti
fikih dan ilmu kalam, ia berpindah ke bidang ilmu tasawuf untuk
membersihkan batinnya, mempertajam kesadaran hatinya agar memperoleh
bisikan suci dari Allah. Kesungguhannya untuk menggabungkan dan menjaga
kebersihan batinnya luar biasa. Ia selalu mengadakan perhitungan
(muhasabah) sehingga ia digelar al-Muhasibi, ia selalu memperhitungkan
semua aktivitas batinnya.
Sebagai seorang sufi yang terkenal beliau mempunyai beberapa keistimewaan dan kelebihan, antrara lain sebagai berikut :
- Beliau
banyak dikunjungi oleh orang-orang sebelumnya tidak dikenal. Mereka
berkunjung kepada Al-Karkhi karena mereka pernah bermimpi mengunjungi
beliau.
- Salah seorang murid
beliau yang bermana Sarri As-Saqathi pernah menuturkan, "Dalam tidurku,
aku pernah bermimpi melihat Ma'ruf al-Karkhi seolah berada di Arasy.
Pada waktu itu, Allah SWT berfirman: "Siapakah dia?" Para Malaikat menjawab, "Engkau lebih mengetahui ya Tuhan". Maka Allah SWT. berfirman:"Orang itu adalah Ma'ruf Al-Karkhi yang sedang mabuk Cinta kepadaKu".
Ia
mabuk cinta akan Dzat Ilahi. Allah mengkuinya sebagai manusia yang
mabuk cinta kepada-Nya. Kebesarannya diakui berbagai golongan
Nama
sufi ini tidak terlalu populer, meski sama-sama berasal dari Irak,
namanya tak sepopuler Syekh Abdul Qadir Jailani, Manshur Al-Hallaj,
atau Junaid Al-Baghdadi. Dialah Ma'ruf Al-Karkhi, salah seorang sufi
penggagas paham cinta dalam dunia Tasawuf yang jiwanya selalu diselimuti
rasa rindu yang luar biasa kepada sang Khalik. Tak salah jika ia
menjadi panutan generasi sufi sesudahnya. Banyak sufi besar seperti
Sirry Al-Saqaty, yang terpengaruh gagasan-gagasannya. Ia juga diangap
sebagai salah seorang sufi penerus Rabi'ah Al-Adawiyah sang pelopor mazhab Cinta.
Menurut
Fariduddin Aththar, salah seorang sufi, dalam kitab Tadzkirul Awliya,
orang tua Ma'ruf adalah seorang penganut Nasrani. Suatu hari guru
sekolahnya berkata, "Tuhan adalah yang ketiga dan yang bertiga", tapi
Ma'ruf membantah, "Tidak! Tuhan itu Allah, yang Esa."
Mendengar
jawaban itu, sang guru memukulnya, tapi Ma'ruf tetap dengan
pendiriannya. Ketika dipukuli habis-habisan oleh gurunya, Ma'ruf
melarikan diri. Karena
tak seorang pun mengetahui kemana ia pergi, orang tua Ma'ruf berkata,
"Asalkan ia mau pulang, agama apapun yang dianutnya akan kami anut
pula. "Ternyata Ma'ruf menghadap Ali bin Musa bin Reza, seorang ulama
yang membimbingnya dalam Islam.
Tak beberapa lama, Ma'ruf pun pulang. Ia mengetuk pintu. "Siapakah itu" tanya orang tuanya. "Ma'ruf", jawabnya. "Agama apa yang engkau anut?" tanya orang tuanya. "Agama Muhammad, Rasulullah", jawab Ma'ruf. Mendengar jawaban itu, orang tuanya pun langsung memeluk Islam.
Cinta Ilahiyah
Salah
seorang gurunya yang terkenal adalah Daud Al-Tsani, ia membimbing
dengan disiplin kesufian yang keras, sehingga mampu menjalankan ajaran
agama dengan semangat luar biasa. Ia dipandang sebagai salah seorang
yang berjasa dalam meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf dan mengembangkan paham cinta Ilahiah.
Menurut
Ma'ruf, rasa cinta kepada Allah SWT tidak dapat timbul melalui
belajar, melainkan semata-mata karena karunia Allah SWT. Jika
sebelumnya ajaran tasawuf bertujuan membebaskan diri dari siksa
akhirat, bagi Ma'ruf merupakan sarana untuk memperoleh makrifat
(pengenalan) akan
Allah SWT. Tak salah jika menurut Sufi Taftazani, adalah Ma'ruf
Al-Karhy yang pertama kali memperkenalkan makrifat dalam ajaran
tasawuf, bahkan dialah yang mendefinisikan pengertian tasawuf.
Menurutnya, Tasawuf ialah sikap zuhud, tapi tetap berdasarkan Syariat.
Masih
menurut Ma'ruf, seorang Sufi adalah tamu Tuhan di dunia. Ia berhak
mendapatkan sesuatu yang layak didapatkan oleh seorang tamu, tapi
sekali-kali tidak berhak mengemukakan kehendak yang didambakannya.
Cinta itu pemberian Tuhan, sementara ajaran sufi berusaha mengetahui yang
benar dan menolak yang salah. Maksudnya, seorang sufi berhak menerima
pemberian Tuhan, seperti Karomah, namun tidak berhak meminta. Sebab hal
itu datang dari Tuhan yang lazimnya sesuai dengan tingkat ketaqwaan
seseorang kepada Allah SWT.
Gambaran
tentang Ma'ruf diungkapkan oleh seorang sahabatnya sesama sufi,
Muhammad Manshur Al-Thusi, katanya, "Kulihat ada goresan bekas luka di
wajahnya. Aku bertanya: kemarin aku bersamamu tapi tidak terlihat
olehku bekas luka. Bekas apakah ini?"Ma'ruf pun menjawab, "Jangan
hiraukan segala sesuatu yang bukan urusanmu. Tanyakan hal-hal yang
berfaedah bagimu."
Tapi Manshur terus mendesak. "Demi Allah, jelaskan kepadaku", maka Ma'ruf pun menjawab. "Kemarin
malam aku berdoa semoga aku dapat ke Mekah dan bertawaf mengelilingi
Ka'bah. Doaku itu terkabul, ketika hendak minum air di sumur Zamzam,
aku tergelincir, dan mukaku terbentur sehingga wajahku luka."
Pada
suatu hari Ma'ruf berjalan bersama-sama muridnya, dan bertemu dengan
serombongan anak muda yang sedang menuju ke Sungai Tigris. Disepanjang
perjalanan anak muda itu bernyanyi sambil mabuk. Para murid Ma'ruf
mendesak agar gurunya berdo'a kepada Allah sehingga anak-anak muda
mendapat balasan setimpal. Maka Ma'ruf pun menyuruh murid-muridnya
menengadahkan tangan lalu ia berdoa, "Ya Allah, sebagaimana engkau
telah memberikan kepada mereka kebahagiaan di dunia, berikan pula
kepada mereka kebahagiaan di akherat nanti." Tentu saja murid-muridnya tidak mengerti. "Tunggulah sebentar, kalian akan mengetahui rahasianya", ujar Ma'ruf.
Beberapa
saat kemudian, ketika para pemuda itu melihat ke arah Syekh Ma'ruf,
mereka segera memecahkan botol-botol anggur yang sedang mereka minum,
dengan gemetar mereka menjatuhkan diri di depan Ma'ruf dan bertobat.
Lalu kata Syekh Ma'ruf kepada muridnya, "Kalian saksikan, betapa doa kalian dikabulkan tanpa membenamkan dan mencelakakan seorang pun juga."
Ma'ruf
mempunyai seorang paman yang menjadi Gubernur. Suatu hari sang
Gubernur melihat Ma'ruf sedang makan Roti, bergantian dengan seekor
Anjing. Menyaksikan itu pamannya berseru, "Tidakkah engkau malu makan roti bersama seekor Anjing?" maka sahut sang kemenakan, "Justru karena punya rasa malulah aku memberikan sepotong roti kepada yang miskin." Kemudian
ia menengadahkan kepala dan memanggil seekor burung, beberapa saat
kemudian, seekor burung menukik dan hinggap di tangan Ma'ruf. Lalu
katanya kepada sang paman, "Jika seseorang malu kepada Allah SWT, segala sesuatu akan malu pada dirinya". Mendengar itu, pamannya terdiam, tak dapat berkata apa-apa.
Suatu
hari beberapa orang syiah mendobrak pintu rumah gurunya, Ali bin Musa
bin Reza, dan menyerang Ma'ruf hingga tulang rusuknya patah. Ma'ruf
tergelatak dengan luka cukup parah, melihat itu, muridnya, Sarry
al-Saqati berujar, "Sampaikan wasiatmu yang terakhir", maka Ma'ruf pun berwasiat. "Apabila
aku mati, lepaskanlah pakaianku, dan sedekahkanlah, aku ingin
meninggalkan dunia ini dalam keadaan telanjang seperti ketika
dilahirkan dari rahim ibuku."
Sarri as-Saqathi meriwayatkan kisah: Pada suatu hari perayaan aku melihat Ma'ruf tengah memunguti biji-biji kurma. "Apa yang sedang engkau lakukan?" tanyaku. Ia menjawab, "Aku melihat seorang anak menangis. Aku bertanya, "Mengapa engkau menangis?" ia menjawab. "Aku
adalah seorang anak yatim piatu. Aku tidak memiliki ayah dan ibu,
Anak-anak yang lain mendapat baju-baju baru, sedangkan aku tidak.
Mereka juga dapat kacang, sedangkan aku tidak," lalu akupun
memunguti biji-biji kurma ini. Aku akan menjualnya, hasilnya akan aku
belikan kacang untuk anak itu, agar ia dapat kembali riang dan bermain
bersama anak-anak lain. "Biarkan aku yang mengurusnya," kataku. Akupun
membawa anak itu, membelikannya kacang dan pakaian. Ia terlihat sangat
gembira. Tiba-tiba aku merasakan seberkas sinar menerangi hatiku. Dan sejak saat itu, akupun berubah.
Suatu hari Ma'ruf batal wudlu. Ia pun segera bertayamum. Orang-orang yang melihatnya bertanya, "Itu sungai Tigris, mengapa engkau bertayammum?" Ma'ruf menjawab, "Aku takut keburu mati sebelum sempat mencapai sungai itu."
Ketika
Ma'ruf wafat, banyak orang dari berbagai golongan datang berta'ziyah,
Islam, Nasrani, Yahudi. Dan ketika jenazahnya akan diangkat, para
sahabatnya membaca wasiat almarhum: "Jika ada kaum yang dapat mengangkat peti matiku, aku adalah salah seorang diantara mereka". Kemudian
orang Nasrani dan Yahudi maju, namun mereka tak kuasa mengangkatnya.
Ketika tiba giliran orang-orang muslim, mereka berhasil, lalu mereka
menyalatkan dan menguburkan jenazahnya.
Makruf al-Karkhi,
ada yang menyebutnya Ma’ruf al-Karkhi yang meninggal tahun 200 H.
Menurut Makruf al-Karkhi, tasawuf ialah menimba hakikat
realitas-realitas dan berputus asa terhadap apapun yang di tangan
mahluk. Tasawuf menurut Makruf al-Karkhi, didasarkan pada syariah dan
tuntutan-tuntutan amal ibadah maupun ketaatannya. Sekalipun tasawuf
menafikan perbantahan secara teoritis tentang persoalan agama (Islam)
serta lebih menekankanpelaksanaan ibadah dalam hal ini al-Sulami
berpendapat,: “Jika Allah menghendaki kebaikan atas seorang hamba-Nya, maka dia bukakan baginya pintu gerbang amal
serta Dia tutupkan baginya pintu gerbang perbantahan. Dan jika Allah
menghendaki keburukan atas seorang hamba-Nya, maka Dia tutupkan baginya
pintu gerbang amal serta Dia bukakan baginya pintu gerbang perbantahan.
Menurut Makruf al-Karkhi, ilmu itu haruslah berkaitan dengan amal, “Jika
seorang alim beramal dengan ilmunya, maka akan luruslah kalbu
orang-orang yang beriman, dan akan dibenci oleh orang-orang yang
kalbunya sakit.” Makruf al-Karkhi
Pendapat Syeikh Ma’ruf Al Karkhi Soal Maulid
Suatu
hari ketika sedang berpuasa Sunah, Maruf Al Karkhi rahimahullah
berjalan melewati seorang yang membagi bagikan air secara gratis. Dengan
suara lantang lelaki itu berkata :
“Semoga Allah merahmati orang yang mau minum air ini”
Mendengar ucapannya, Ma’ruf Al-Karkhi rahimahullah berhenti dan meminum air tersebut.
“Bukankah engkau sedang berpuasa”? Tanya seseorang kepadanya. Benar, tetapi aku berharap mendapat rahmat Allah sebagaimana doa lelaki tersebut. (Abul Qashim “Abdul Karim Bin Hawazin, Ar Risallatul Qusyairiyah, Darul Khair hal 427-428)
Syeikh
Ma’ruf Al Karkhi rahimahullah sangat memperhatikan majelis Maulid Nabi.
Dalam salah satu nasihatnya, beliau radhiyallahu anhu berkata :
“Barang
siapa mempersiapkan makanan, mengumpulkan teman teman, menyalakan
lampu, mengenakan pakaian baru , memakan parfum dan menghias dirinya
untuk membaca dan mengagungkan mauled rasul, maka kelak di hari kiamat
Allah akan mengumpulkan bersama para Nabi, orang orang yang berada dalam
barisan pertama. Dia kan ditempatkan di Illiyyin yang tertinggi (Abu Bakar Bin Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Ianathuth Thalibin Darul Fikr, juz3, hal 255)
Obat Mujarab
al-Imam
al-Hafidz Abul Faraj Abdurrahman Ibn al-Jauzi merupakan imam pembesar
madzhab Hanabilah. Dalam sebuah kitabnya yang berjudul Bahr ad-Dumu' (بحر الدموع), beliau menyebutkan sebuah kisah menarik tentang Imam Ma'ruf al-Karkhi, juga sedikit menuturkan tentang Imam Ahmad bin Hanbal.
كان
أبو محفوظ معروف الكرخي قد خصّه الله بالاجتباء في حال الصبا، يذكر أن
أخاه عيسى قال: كنت أنا وأخي معروف في المكتب، وكنا نصارى، وكان المعلم
يعلم الصبيان: "أب" و"ابن" فيصيح أخي معروف: "أحد أحد" فيضربه المعلم على
ذلك ضربا شديدا، حتى ضربه يوما ضربا عظيما، فهرب على وجهه.
Imam
Abu Mahfudh Ma’ruf al-Karkhi (Salaf ‘Alim Sufi) sungguh telah mendapat
kemulyaan disisi Allah Ta’alaa sejak masih kecil. Saudaranya yakni ‘Isaa
berkata : “aku bersama saudaraku Ma’ruf disebuah maktab, ketika itu
kami masih nashrani, pengajar mengajarkan anak-anak tentang (Tuhan)
bapak dan anak. Namun, saudaraku Ma’ruf berteriak “Ahad Ahad”, maka
pengajar memukulnya dengan pukulan-pukulan yang keras, maka kemudian
Ma’ruf kabur.
وكانت
أمه تبكي وتقول: لئن ردّ الله عليّ معروفا، لأتبعنّه على أي دين كان، فقدم
عليها معروف بعد سنين كثيرة، فقالت له: يا بنيّ، على أي دين أنت؟ قال: على
دين الإسلام، فقالت: أشهد أن لا اله إلا الله، وأشهد أن محمدا رسول الله،
فأسلمت أمي وأسلمنا كلنا.
Sedangkan
ibunya menangis saraya mengatakan : “seandainya Allah (Tuhan)
mengembalikan Ma’ruf kepadaku, niscaya aku akan mengikutinya yakni
mengikuti agamanya. Maka setelah lebih dari dua tahun Ma’ruf kembali,
maka ibunya berkata kepadanya : “wahai putraku, apakah agamumu ? Ma’ruf
berkata : “aku beragama Islam”, Ibunya berkata : “aku bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan
Allah, maka ibuku masuk Islam dan kami semua juga masuk Islam”.
وقال
أحمد بن الفتح: رأيت بشر بن الحارث في منامي وهو قاعد في بستان بين يديه
مائدة وهو يأكل منها، فقلت: يا أبا نصر, ما فعل الله بك؟ قال: رحمني وغفر
لي، وأباح لي الجنة بأسرها، وقال لي: كل من جميع ثمارها، واشرب من أنهارها،
وتمتع بجميع ما فيها، كما كنت تحرم نفسك عن الشهوات في دار الدنيا.
Ahmad bin al-Fath berkata
: “aku melihat Bisyr bin al-Harits didalam mimpiku, ia duduk di
disebuah taman yang dihadapannya ada hidangan dan ia memakannya. Aku
berkata : “wahai Abu Nashr, apakah yang telah Allah lakukan kepada
engkau ?. ia berkat : “Allah telah merahmatiku dan memberikan
pengampunan kepadaku, serta memberikan surga beserta isinya kepadaku.
Allah mempersilahkan kepadaku : “makanlah dari seluruh buah-buahnya,
minumlah dari sungai-sungainya, serta nikmatilah seluruh apa yanga
didalamnya sebagaimana engkau pernah mengharamkan (mencegah) atas dirimu
sendiri dari syahwat-syahwat ketika berada di dunia”.
فقلت له: فأين أخوك أحمد بن حنبل؟ فقال: هو قائم على باب الجنة يشفع لأهل السنة ممن يقولون: القرآن كلام الله غير مخلوق.
Aku berkata (tanya lagi) kepadanya : dimanakah saudaramu yakni Ahmad bin Hanbal ?,
ia berkata : Ia berdiri di pintu surga sedang memberikan syafa’at
kepada Ahl Sunnah yakni mereka yang berkata bahwa al-Qur’an adalah
Kalamullah bukan makhluk”.
فقلت
له: وما فعل الله بمعروف الكرخي؟ فحرّك رأسه، وقال هيهات هيهات! حالت
بيننا وبينه الحجب. إن معروفا لم يعبد الله شوقا إلى جنّته، ولا خوفا من
ناره، وإنما عبده شوقا إليه، فرفعه إلى الرفيق الأعلى، ورفع الحجاب بينه
وبينه.
Aku berkata (tanya lagi) kepalanya : apakah yang Allah perbuat kepada Ma’ruf al-Karkhi ? Ia
menggerakkan kepadanya, kemudian ia berkata ; sungguh jauh, sungguh
jauh, antara kami dan dia terpisah oleh hijab-hijab (banyak hijab).
Sungguh Ma’ruf tidak menyembah Allah karena berharap kepada surga-Nya,
tidak pula karena takut kepada neraka-Nya, karena itu ia diangkat ke
sisi-Nya (ilaa Rafiqil A’laa), dan dihilangkan hijab antara ia (Ma’ruf)
dan Rabb-Nya.
ذلك الترياق المقدس المجرّب، فمن كانت له إلى الله حاجة، فليأت قبره، وليدع، فانه يستجاب له إن شاء الله تعالى
Itulah obat suci yang mujarab, maka barangsiapa memiliki hajat kepada Allah,hendaknya ia mendatangi kuburan Ma’ruf al-Karkhi, dan berdo’ah disana. Maka sesungguhnya akan terkabul keinginannya, InsyaAllah Ta’alaa.
بحر الدموع للإمام الحافظ جمال الدين أبو الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد الجوزي
Al-Habib
Ahmad bin Zain al-Habsyi RA:kubur/ Makam Al-Syeikh Ma'ruf Al-karkhi
adalah tiryaaq (penawar) yang mujarrab (sebagai sebab) untuk menunaikan/
dikabulkan segala hajat
---------------------------------
-----------------------------------
Al-Syaikh
Ma'ruf al-Karkhi QS atau nama lengkapnya Abu Mahfudz Ma'ruf bin Fairuz
al-Karkhi adalah seorang wali besar yang dimakamkan di Kota Baghdad (di
sebelah adalah foto makam beliau). Al-Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi RA
dalam "Syarhul 'Ainiyyah" halaman 64 - 67 menyebut antara lain:-
"Beliau
adalah seorang syaikh besar yang mustajab do'anya, penduduk Baghdad
beristisqa' dengan kuburnya (yakni bertawassul dengan beliau untuk
memohon Alloh menurunkan hujan) dan menyatakan bahwa kuburnya itu adalah
tiryaaq mujarrab (penawar yang mujarrab).....
barang siapa yang ada hajat kepada Alloh, maka berdo'alah kepada Alloh
di sisi kuburnya (yakni kubur Al-Syaikh Ma'ruf), sesungguhnya Alloh akan
mengabulkan permohonannya. Dan sebagian 'ulama' menyatakan bahwa kubur/
Makam Al-Syeikh Ma'ruf Al-karkhi adalah tiryaaq (penawar) yang
mujarrab (sebagai sebab) untuk menunaikan/ dikabulkan segala hajat."
Al-Habib
Ahmad bin Zain al-Habsyi Ra tersebut mengutip pernyataan para 'ulama'
sebelum beliau mengenai keutamaan Syaikh Ma'ruf, antaranya sebagaimana
yang disebut oleh guru beliau sendiri yaitu al-Habib 'Abdullah bin
'Alawi bin Muhammad al-Haddad RA.
Maka telah menyebut al-Imam al-Quthub al-Habib 'Abdullah bin 'Alawi bin Muhammad al-Haddad rahimahumUlloh dalam karya beliau " Sabilul Iddikar" halaman 64 sebagai berikut:-
"Demikian
pula apabila menziarahi kubur-kubur para sholihin maka perbanyakkanlah
berdoa di sisinya kerana di antara mereka ada yang Allah jadikan doa di
sisi kuburnya mustajab. Perkara seumpama ini mujarrab sehingga penduduk
Baghdad menamakan kubur as-Sayyid al-Imam Musa bin al-Imam Ja'far
ash-Shoodiq sebagai "at-Tiryaaq al-Mujarrab", iaitu kerana mustajabnya
segala doa dan jadi sebab tersingkapnya segala keperluan. Dan
demikianlah pula dengan kubur Ma'ruf al-Karkhi dinamakan sedemikian juga
dan adalah kuburnya di Baghdad juga."
Rasanya sejarah hidup
Syaikh Ma'ruf telah dikenali ramai. Di sini kita bawakan sekelumit
mengenai tawadhu` dan khumulnya beliau. Diceritakan bahawa pada satu
hari Syaikh Ma'ruf sedang berpuasa sunnat. Tiba-tiba beliau mendengar
seorang saudagar berteriak dengan katanya: "Semoga Allah merahmati orang yang sudi meminum airku ini." Mendengar
suara saudagar tersebut, Syaikh Ma'ruf telah menghampirinya dan meminum
air yang diberikan oleh si saudagar tersebut, walaupun sebelumnya
beliau berpuasa. Murid-murid beliau kehairanan dengan tindakan Syaikh
tersebut, lalu ada yang bertanya: "Bukankah tuan sedang berpuasa?" Syaikh Ma'ruf al-Karkhi menjawab: "Ya, tetapi aku berbuka dan meminum airnya kerana ingin termasuk dalam doanya (yakni ingin memperolehi doa rahmatnya tadi)."
Allahu
... Allah, lihatlah bagaimana khumulnya Syaikh Ma'ruf yang meninggalkan
puasa sunnatnya semata-mata ingin mendapat doa si saudagar tersebut.
Bayangkanlah di mana darjat Syaikh Ma'ruf dan di mana pula maqam si
saudagar tersebut. Mungkin ada di antara kita yang tidak atau kurang
menghargai doa orang lain, dengan anggapan bahawa kita sendiri pun tahu
untuk berdoa maka tidak perlulah kepada doa orang lain. Sebenarnya,
perasaan sedemikian adalah petanda bahawa dalam diri kita masih ada
unsur bangga diri atau membesarkan diri dan kurangnya tawadhu` dan
khumul. Juga jangan lupa pada kehebatan tawadhu` Junjungan Nabi SAW yang
sanggup berpesan doa daripada Sayyidina `Umar RA, dan demikian juga
tawadhu`nya Sayyidina 'Umar RA dan Sayyidina 'Ali sehingga sanggup
memohon doanya Sayyidina 'Uwais RA.
Berapa ramai yang tidak mahu mengaminkan doa imamnya setelah sholat berjemaah atas alasan - "Ya semua orang boleh berdoa masing-masing, jadi apa perlu aku mengaminkan doa orang lain, aku sendiri pun boleh berdoa". Mungkin
ada yang terlintas begitu di benaknya apabila bangkit meninggalkan
jemaah yang sedang mengaminkan doa imam. Teringat akan kata-kata seorang
guru - " Orang dulu setelah sholat wiridannya Allahumma antas Salam, sekarang ramai yang wiridannya Allahumma lantas jalan." Alasan-alasan
bid`ah dan sebagainya hanya seumpama serbuk perasa untuk menyedapkan
keegoan diri. Moga Allah lenyapkan sikap bangga diri kita dan menjadikan
kita insan yang khumul berkat Syaikh Ma'ruf al-Karkhi .... al-Fatihah.
|
Komentar
Posting Komentar