Fuzail bin Iyaz
AL-FUZAIL BIN IYAZ Sang Pembegal Yang Bertaubat Abu
’Ali al-Fuzail bin ‘Iyaz at-Talaqani lahir di Khurasan. Diriwayatkan
bahwa sewaktu masih remaja, Fuzail adalah seorang penyamun. Setelah
bertaubat, Fuzail pergi ke Kufah kemudian ke Makkah, di mana ia tinggal
beberapa tahun lamanya hingga wafatnya pada tahun 187 H/803 M. Nama
Fuzail cukup terkenal sebagai seorang ahli Hadits, dan keberaniannya
mengkhotbahi Khalifah Harun ar-Rasyid sering diperbincangkan orang. FUZAIL PEMBEGAL DAN KISAH PERTAUBATANNYA Sewaktu
masih remaja, Fuzail mendirikan kemah di tengah-tengah padang pasir,
yaitu di antara Merv dan Baward. Jubahnya terbuat dari bahan kasar,
topinya terbuat dari bulu domba, dan dilehernya senantiasa tergantung
sebuah tasbih. Fuzail mempunyai banyak teman yang semuanya terdiri dari
para pencuri dan pembegal. Siang dan malam mereka merampok, membunuh dan
membawa hasil rampasan mereka kepada Fuzail karena ia adalah kepala
mereka. Fuzail mengambil sesuatu yang disukainya, sesudah itu
membagi-bagikan lebihan harta rampasan tersebut kepada semua sahabatnya.
Ia selalu tanggap tentang sesuatu dan tak pernah alpa dari
pertemuan-pertemuan mereka. Setiap anggota baru yang sekali saja tidak
menghadiri pertemuan, Fuzail akan mengeluarkannya dari kelompok mereka. Suatu
hari sebuah kafilah yang besar melewati daerah mereka. Fuzail dan
sahabat-sahabatnya telah menanti-nantikan kedatangan kafilah tersebut.
Di dalam rombongan itu ada seorang lelaki yang pernah mendengar
desas-desus mengenai para perampok itu. Ketika ia melihat kawanan
perampok itu dari kejauhan, ia pun berpikir, bagaimanakah ia harus
menyembunyikan sekantong emas yang dimilikinya. “Kantong emas
ini akan kusembunyikan”, ia berkata di dalam hati. “Dengan demikian jika
para perampok membegal rombongan ini, aku masih mempunyai modal untuk
diandalkan”. Ia menyimpang dari jalan raya. Kemudian ia melihat sebuah
kemah dan di dekat kemah itu ada seorang yang wajah dan pakaian nya
tampak sebagai seorang pertapa. Maka kantong emas itu pun lalu
dititipkannya kepada orang itu, yang sebenarnya adalah Fuzail sendiri.
”Taruhlah kantongmu itu di pojok kemahku”, Fuzail berkata kepadanya.
Lelaki itu melakukan seperti yang dikatakan Fuzail. Kemudian
ia kembali ke rombongannya, tetapi ternyata mereka telah dibegal oleh
kawanan Fuzail. Semua barang bawaan mereka telah dirampas sedang kaki
dan tangan mereka diikat. Lelaki itu melepaskan ikatan sahabat-sahabat
seperjalanannya. Setelah mengumpulkan harta benda mereka yang masih
tersisa, menyingkirlah mereka dari tempat kejadian itu. Lelaki tadi
kembali ke kemah Fuzail untuk mengambil kantong emasnya. Ia melihat
Fuzail sedang berkerumun dengan kawanan perampok dan membagi-bagikan
hasil rampasan mereka. “Celaka, ternyata aku telah menitipkan kantong emasku kepada seorang maling”, lelaki itu mengeluh. Tetapi Fuzail yang dari kejauhan melihatnya, memanggilnya dan ia pun datang menghampiri. “Apakah yang engkau kehendaki”, lelaki itu bertanya kepada Fuzail. “Ambillah barangmu dari tempat tadi dan setelah itu tinggalkanlah tempat ini”. Lelaki itu segera berlari ke kemah Fuzail, mengambil kantong emas dan meninggalkan tempat itu. Dengan
keheran-heranan teman-teman Fuzail berkata: “Dari seluruh kafilah itu
kita tidak mendapatkan satu dirham pun di dalam bentuk tunai, tetapi
mengapa engkau mengembalikan sepuluh ribu dirham itu kepadanya?” Fuzail
menjawab: “Ia telah mempercayaiku seperti aku mempercayai Allah akan
menerima taubatku nanti. Aku hargai kepercayaannya itu agar Allah
menghargai kepercayaanku pula”. Pada hari yang lain mereka
membegal kafilah pula dan merampas harta benda mereka. Ketika kawanan
Fuzail sedang makan, seorang anggota kafilah itu datang menghampiri
mereka dan bertanya: ”Siapakah pemimpin kalian?” Kawanan perampok itu menjawab: “Ia tidak ada di sini. Ia sedang shalat di balik pohon yang terletak di pinggir sungai itu”. “Tetapi sekarang ini belum waktunya untuk shalat”, lelaki itu berkata. “Ia sedang melakukan shalat sunnat”, salah seorang di antara pembegal-pembegal itu menjelaskan. “Dan ia tidak makan bersama-sama dengan kalian?”, lelaki itu melanjutkan. “Ia sedang berpuasa”, jawab salah seorang. “Tetapi sekarang ini bukan bulan Ramadhan?” “Ia sedang berpuasa sunnat”. Dengan
sangat heran lelaki tadi menghampiri Fuzail yang sedang khusyuk di
dalam shalatnya, Setelah selesai berkatalah ia kepada Fuzail, “Ada
sebuah peribahasa yang mengatakan, hal-hal yang bertentangan tidak
dapat dipersatukan. Bagaimanakah mungkin seseorang berpuasa, merampok,
shalat dan membunuh orang Muslim pada waktu yang bersamaan?”. “Apakah engkau memahami al-Qur’an?”, Fuzail bertanya kepadanya. “Ya”, jawab lelaki itu. “Tidakkah
Allah Yang Maha Kuasa berkata: ’Orang-orang lain telah mengakui
dosa-dosa mereka dan mencampuradukkan perbuatan-perbuatan yang baik
dengan perbuatan-perbuatan yang aniaya?’ “. Lelaki itu terdiam tidak dapat berkata apa-apa. Orang-orang
mengatakan bahwa pada dasarnya Fuzail adalah seorang yang berjiwa
satria dan berhati mulia. Apabila di dalam sebuah kafilah terdapat
seorang wanita, maka barang-barang wanita itu tidak akan diusiknya.
Begitu pula harta benda orang-orang miskin tidak akan dirampas Fuzail.
Untuk setiap korbannya, ia selalu meninggalkan sebagian dari harta
bendanya yang dirampas. Sebenarnya semua kecenderungan Fuzail tertuju
kepada perbuatan yang baik. Pada awal
petualangannya, Fuzail tergila-gila kepada seorang wanita. Fuzail selalu
menghadiahkan hasil rampasannya kepada wanita kekasihnya itu. Karena
mabuk asmara, Fuzail sering memanjat, dinding rumah si wanita tanpa
perduli keadaan cuaca yang bagaimana pun juga. Sementara berbuat
demikian, ia selalu menangis. Suatu malam ketika ia sedang
memanjat rumah kekasihnya itu, lewatlah sebuah kafilah dan di antara
mereka ada yang sedang membacakan ayat-ayat al-Qur’an. Terdengarlah oleh
Fuzail ayat yang berbunyi: “Belum tibakah saatnya hati orang-orang yang
percaya merendah untuk mengingat Allah?” Ayat ini bagaikan
anak panah menembus jantung Fuzail, seolah sebuah tantangan yang berseru
kepadanya: “Wahai, Fuzail, berapa lama lagikah engkau akan membegal
para kafilah? Telah tiba saatnya kami akan membegalmu!” Fuzail terjatuh dan berseru: “Memang telah tiba saatnya, bahkan hampir terlambat!” Fuzail
merasa bingung dan malu. Ia berlari ke arah sebuah puing. Ternyata di
situ sedang berkemah sebuah kafilah. Mereka berkata: “Marilah kita
melanjutkan perjalanan”, tetapi salah seorang di antara mereka mencegah:
“Tidak mungkin, Fuzail sedang menanti dan akan menghadang kita”. Mendengar pembicaraan mereka itu Fuzail berseru: “Berita gembira Fuzail telah bertaubat!”. Setelah
berseru demikian ia pun pergi. Sepanjang hari ia berjalan sambil
menangis. Hal ini sangat menggembirakan orang-orang yang membenci
dirinya. Kepada setiap orang di antara sahabat-sahabatnya, Fuzail
meminta agar janji setia di antara mereka dihapuskan. Akhirnya hanya
tersisa seorang Yahudi di Baward; Fuzail meminta agar janji setia di
antara mereka berdua dihapuskan namun si Yahudi tidak mau dibujuk. “Sekarang kita dapat memperolok-olokkan pengikut Muhammad”, si Yahudi berbisik kepada teman-temannya sambii tergelak-gelak. “Jika
engkau menginginkan aku untuk menghapuskan janji setia yang telah kita
ikrarkan itu, maka ratakanlah bukit itu’’, si Yahudi berkata kepada
Fuzail sambil menunjuk ke arah sebuah bukit pasir. Bukit
itu tidak mungkin dapat dipindahkan Oleh seorang manusia, kecuali untuk
waktu yang sangat lama. Fuzail yang malang mulai mencangkul bukit itu
sedikit demi sedikit, tetapi bagaimanakah tugas tersebut dapat
diselesaikan? Pada suatu pagi, ketika Fuzail sangat letih,
sekonyong-konyong datanglah angin kencang yang meniup bukit pasir
tersebut hingga rata. Setelah melihat betapa bukit pasir itu telah
menjadi rata, si Yahudi yang sangat merasa takjub itu berkata kepada
Fuzail : ”Sesungguhnya aku telah bersumpah, bahwa aku tidak
akan menghapuskan janji setia kita sebelum engkau memberikan uang
kepadaku. oleh karena itu masuklah ke dalam rumahku, ambil segenggam
uang emas yang terletak di bawah permadani dan berikan kepadaku. Dengan
demikian sumpahku akan terpenuhi dan janji setia di antara kita dapat
dihapuskan”. Fuzail masuk ke dalam rumah si
orang Yahudi. Sesungguhnya si Yahudi telah menaruh gumpalan-gumpalan
tanah ke bawah permadani itu. Tetapi ketika Fuzail meraba ke bawah
permadani itu dan menarik tangannya keluar, ternyata yang diperolehnya
adalah segenggam penuh dinar emas. Dinar-dinar emas ini diserahkannya
kepada si orang Yahudi. “Islamkanlah aku!”, si Yahudi berseru kepada Fuzail. Fuzail mengislamkannya dan jadilah ia seorang Muslim. Kemudian
si Yahudi berkata kepada Fuzail: “Tahukah engkau mengapa aku mau
menjadi seorang Muslim? Hingga sesaat yang lalu aku masih ragu, yang
manakah agama yang benar. Aku pernah membaca di dalam Taurat: ‘Jika
seseorang benar-benar bertaubat, kemudian menaruh tangannya ke atas
tanah, maka tanah itu akan berubah menjadi emas’. Sesungguhnya ke bawah
permadani tadi telah kutaruhkan tanah untuk membuktikan taubatmu. Dan
ketika tanah itu berubah menjadi emas karena tersentuh oleh tanganmu,
tahulah aku bahwa engkau benar-benar telah bertaubat dan bahwa agamamu
adalah agama yang benar”. ooo Fuzail
memohon kepada seseorang “Demi Allah, ikatlah kaki dan tanganku,
kemudian bawalah aku ke hadapan sultan agar ia mengadiliku karena
berbagai kejahatan yang pernah kulakukan”. Orang
itu memenuhi permohonan Fuzail. Ketika sultan melihat Fuzail,
terlihatlah olehnya tanda-tanda manusia berbudi pada dirinya. “Aku
tidak dapat mengadilinya”, sultan berkata. Kemudian ia memerintahkan
agar Fuzail diantarkan pulang dengan segala hormat dan ketika sampai di
rumahnya Fuzail mengeluarkan sebuah tangisan yang keras. “Dengarlah Fuzail yang sedang berteriak-teriak itu! Mungkin ia sedang disiksa”, orang-orang berkata. “Memang benar, aku sedang disiksa”, Fuzail menjawab. “Apamukah yang dipukuli?”, mereka bertanya. “Batinku!”, jawab Fuzail. Kemudian Fuzail menjumpai isterinya. “Isteriku”, katanya, “aku akan pergi ke rumah Allah. Jika engkau suka, engkau akan kubebaskan”. Tetapi isterinya menjawab: “Aku tidak mau berpisah dari sisimu. Ke mana pun engkau pergi aku akan menyertaimu”. Maka
berangkatlah mereka ke Mekkah. Allah Yang Maha Kuasa telah
menggampangkan perjalanan mereka. Di kota Makkah mereka tinggal di dekat
Ka’bah dan dapat bertemu dengan beberapa orang-orang suci. Untuk
beberapa lama Fuzail bergaul rapat dengan imam Abu Hanifah. Dan
mengenai kekerasan disiplin diri Fuzail telah banyak kisah-kisah yang
dituliskan orang. Di kota Mekkah ini terbukalah kesempatan bagi Fuzail
untuk berkhotbah dan penduduk kota senantiasa berbondong-bondong untuk
mendengarkan kata-katanya. Nama Fuzail segera menjadi buah bibir di
seluruh pelosok dunia, sehingga sanak keluarganya meninggalkan Bavard
menuju Mekkah untuk menemuinya. Mereka mengetuk pintu rumah Fuzail namun
Fuzail tidak menjawab. Mereka tidak mau meninggalkan tempat itu, maka
naiklah Fuzail ke atap rumahnya dan dari sana ia berseru kepada mereka: “Wahai penganggur-penganggur, semoga Allah memberikan pekerjaan kepada kalian!”. Berkali-kali
Fuzail mengucapkan kata-kata pedas seperti itu sehingga semua sanak
keluarganya menangis dan lupa diri. Akhirnya karena putus asa untuk
dapat bercengkerama dengan Fuzail, mereka pun meninggalkan tempat itu.
Fuzail masih tetap di atas atap dan tidak mau membukakan pintu rumahnya. FUZAIL DAN KHALIFAH HARUN AR-RASYID Pada
suatu malam, Harun ar-Rasyid memanggil Fazl Barmesid, salah seorang di
antara pengawal-pengawal kesayangannya. Harun ar-Rasyid berkata kepada
Fazl: “Malam ini bawalah aku kepada seseorang yang menunjukkan
kepadaku siapakah aku ini sebenarnya. Aku telah jemu dengan segala
kebesaran dan kebanggaan”. Fazl membawa Harun ar-Rasyid ke rumah Shofyan al-Uyaina. Mereka mengetuk pintu dan dari dalam Shofyan menyahut: “Siapakah itu?” “Pemimpin kaum Muslimin”, jawab Fazl. Shofyan
berkata: “Mengapakah sultan sudi menyusahkan diri? Mengapa tidak
dikabarkan saja kepadaku sehingga aku datang sendiri untuk menghadap?” Mendengar ucapan tersebut Harun ar-Rasyid berkata: “Ia bukan orang yang kucari. Ia pun menjilatku seperti yang lain-lainnya”. Mendengar kata-kata sultan tersebut, Shofyan berkata: “Jika
demikian, Fuzail bin ’Iyaz adalah seorang yang engkau cari. Pergilah
kepadanya”, kemudian Shofyan membacakan ayat: “Apakah orang-orang yang
berbuat aniaya menyangka bahwa kami akan mempersamakan mereka dengan
orang-orang yang beriman serta melakukan perbuatan-perbuatan yang
Saleh?” Harun ar-Rasyid menimpali: “Seandainya aku menginginkan nasehat-nasehat yang baik niscaya ayat itu telah mencukupi”. Kemudian mereka mengetuk pintu rumah Fuzail. Dari dalam Fuzail bertanya: “Siapakah itu?” “Pemimpin kaum Muslimin”, jawab Fazl. “Apakah urusannya dengan aku dan apakah urusanku dengan dia?”, tanya Fuzail. “Bukankah suatu kewajiban untuk mematuhi para pemegang kekuasaan?” sela Fazl. “janganlah kalian menggangguku”, seru Fuzail. “Perlukah aku mendobrak pintu dengan kekuasaanku sendiri atau dengan perintah sultan?” tanya Fazl. “Tidak ada sesuatu hal yang disebut kekuasaan”, jawab Fuzail. ” Jika engkau secara paksa mendobrak masuk, engkau tahu apa yang engkau lakukan”. Harun
ar-Rasyid melangkah masuk, Begitu Harun menghampirinya, Fuzail meniup
lampu sehingga padam agar ia tidak dapat melihat wajah sultan. Harun
ar-Rasyid mengulurkan tangannya dan disambut oleh tangan Fuzail yang
kemudian berkata: ‘ ”Betapa lembut dan halus tangan ini! Semoga tangan ini terhindar dari api neraka!” Setelah berkata demikian Fuzail berdiri dan berdoa. Harun ar-Rasyid sangat tergugah hatinya dan tak dapat menahan tangisnya. “Katakanlah sesuatu kepadaku”, Harun bermohon kepada Fuzail. Fuzail mengucapkan salam kepadanya dan berkata: “Leluhurmu,
pamanda Nabi Muhammad, pernah meminta kepada beliau: jadikanlah aku
pemimpin bagi sebagian ummat manusia’. Nabi menjawab: ’Paman, untuk
sesaat aku pernah mengangkatmu menjadi pemimpin dirimu sendiri’. Dengan
jawaban ini yang dimaksudkan Nabi adalah: Sesaat mematuhi Allah adalah
lebih baik daripada seribu tahun dipatuhi oleh ummat manusia. Kemudian
Nabi menambahkan ’Kepemimpinan akan menjadi sumber penyesalan pada hari
Berbangkit nanti’ “. “Lanjutkanlah”, Harun ar-Rasyid meminta. “Ketika
diangkat menjadi khalifah, ’Umar bin ’Abdul Aziz memanggil Salim bin
’Abdullah, Raja’ bin Hayat, dan Muhammad bin Ka`ab. ‘Umar berkata kepada
mereka: ’Hatiku sangat gundah karena cobaan ini. Apakah yang harus
kulakukan? Aku tahu bahwa kedudukan yang tinggi ini adalah sebuah cobaan
walaupun orang-orang lain menganggapnya sebagai suatu karunia’. Salah
seorang di antara ketiga sahabat ’Umar itu berkata: ’Jika engkau ingin
terlepas dari hukuman Allah di akhirat nanti, pandanglah setiap Muslim
yang lanjut usia sebagai ayahmu sendiri, setiap Muslim yang remaja
sebagai saudaramu sendiri, setiap Muslim yang masih kanak-kanak sebagai
putramu sendiri, dan perlakukanlah mereka sebagaimana seharusnya
seseorang memperlakukan ayahnya, saudaranya dan puteranya’ “. “Lanjutkanlah!”, Harun ar-Rasyid meminta lagi. “Anggaplah
negeri Islam sebagai rumahmu sendiri dan penduduknya sebagai keluargamu
sendiri. Jenguklah ayahmu, hormatilah saudaramu dan bersikap baiklah
kepada anakmu. Aku sayangkan jika wajahmu yang tampan ini akan terbakar
hangus di dalam neraka. Takutilah Allah dan carilah
perintah-perintah-Nya. Berhati-hatilah dan bersikaplah secara bijaksana,
karena pada hari Berbangkit nanti Allah akan meminta pertanggung
jawabanmu sehubungan dengan setiap Muslim dan Dia akan memeriksa apakah
engkau telah berlaku adil kepada setiap orang. Apabila ada seorang
wanita ’uzur yang tertidur dalam keadaan lapar, di hari Berbangkit nanti
ia akan menarik pakaianmu dan akan memberi kesaksian yang memberatkan
dirimu”. Harun ar-Rasyid menangis dengan sangat
getirnya sehingga tampaknya ia akan jatuh pingsan. Melihat hal ini
wasir Fazl menyentak Fuzail: “Cukup! Engkau telah membunuh pemimpin kaum Muslimin!”. “Diamlah
Haman! Engkau dan orang-orang yang seperti engkau inilah yang telah
menjerumuskan dirinya, kemudian engkau katakan aku yang membunuhnya.
Apakah yang kulakukan ini suatu pembunuhan?” Mendengar
kata-kata Fuzail ini tangis Harun ar-Rasyid semakin menjadi-jadi “Ia
menyebutmu Haman”, kata Harun ar-Rasyid sambil memandang Fazl, “karena
ia mempersamakan diriku dengan Fir’aun”. Kemudian Harun bertanya. kepada Fuzail: ”Apakah engkau mempunyai hutang yang belum dilunaskan?”. “Ya”, jawab Fuzail, “hutang kepatuhan kepada Allah. Seandainya Dia memaksaku untuk melunasi hutang ini celakalah aku!” “Yang kumaksudkan adalah hutang kepada manusia, Fuzail”, Harun menegaskan. “Aku
bersyukur kepada Allah yang telah mengaruniakan kepadaku sedemikian
berlimpahnya sehingga tidak ada keluh-kesah yang harus kusampaikan
kepada hamba-hamba-Nya”. Kemudian Harun ar-Rasyid menaruh
sebuah kantong yang berisi seribu dinar di hadapan Fuzail sambil
berkata: “Ini adalah uang halal yang diwariskan ibuku”. Tetapi
Fuzail mencela: “Wahai pemimpin kaum Muslimin, nasehat-nasehat yang
kusampaikan kepadamu ternyata tidak ada faedahnya. Engkau bahkan telah
memulai lagi perbuatan salah dan mengulangi kezhaliman”. “Perbuatan salah apakah yang telah kulakukan?”, tanya Harun ar-Rasyid. “Aku menyerumu ke jalan keselamatan tetapi engkau menjerumuskan aku ke dalam godaan. Bukankah hal itu suatu kesalahan? Telah
kukatakan kepadamu, kembalikanlah segala sesuatu yang ada padamu kepada
pemiliknya yang berhak. Tetapi engkau memberi kannya kepada yang tidak
pantas menerimanya. Percuma saja aku berkata-kata”. Setelah berkata demikian, Fuzail berdiri dan melemparkan uang-uang emas itu keluar. “Benar-benar
seorang manusia hebat!”, Harun ar-Rasyid berkata ketika ia meninggalkan
rumah Fuzail. “Sesungguhnya Fuzail adalah seorang raja bagi ummat
manusia. Ia sangat blak-blakan dan dunia ini terlampau kecil dalam
pandangannya.” ANEKDOT—ANEKDOT MENGENAI DIRI FUZAIL Suatu
hari Fuzail memangku anak yang berumur empat tahun. Tanpa disengaja
bibir Fuzail menyentuh pipi anak itu sebagaimana yang sering dilakukan
seorang ayah kepada anaknya. “Apakah ayah cinta kepadaku?”, si anak bertanya kepada Fuzail. “Ya”, jawab Fuzail. ”Apakah ayah cinta kepada Allah?” “Ya”. ”Berapa banyakkah hati yang ayah miliki?” “Satu”, jawab Fuzail. “Dapatkah ayah mencintai dua hal dengan satu hati?”, si anak meneruskan pertanyaannya. Fuzail
segera sadar bahwa yang berkata-kata itu bukanlah anaknya sendiri.
Sesungguhnya kata-kata itu adalah sebuah petunjuk Ilahi. Karena takut
dimurkai Allah, Fuzail memukul-mukulkan kepalanya sendiri dan memohon
ampun kepada-Nya. Ia renggut kasih sayangnya kepada si anak kemudian
dicurahkannya kepada Allah semata-mata,. ooo Pada
suatu hari Fuzail sedang berada di Padang Arafah. Semua, jama’ah yang
berada di sana menangis, meratap, memasrahkan diri dan memohonkan ampun
dengan segala kerendahan hati, “Maha Besar Allah!”, seru
Fuzail. “Jika manusia sebanyak ini secara serentak menghadap kepada
seseorang dan mereka semua meminta sekeping uang perak kepadanya, apakah
yang dilakukannya? Apakah orang itu akan mengecewakan manusia-manusia yang banyak ini?” “Tidak!”, orang ramai menjawab. “Jadi”,
Fuzail melanjutkan, “Sudah tentu bagi Allah Yang Maha Besar untuk
mengampunkan kita semua adalah lebih mudah daripada bagi orang tadi
untuk memberikan sekeping uang perak. Dia adalah Yang Maha Kaya di
antara yang kaya, dan karena itu sangat besar harapan kita bahwa Dia
akan mengampunkan kita semua”. ooo Putera
Fuzail menderita penyakit susah buang air kecil. Fuzail berlutut di
dekat anaknya dan mengangkat kedua tangannya sambil berdoa: “Ya Allah,
demi cintaku kepada-Mu sembuhkanlah ia dari penyakit ini”. Belum sempat Fuzail bangkit dari duduknya, si anak telah segar bugar kembali. ooo Di
dalam doanya Fuzail sering mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah aku karena
Engkau Maha Tahu bahwa aku telah bertaubat, dan janganlah Engkau
menghukumku karena Engkau Maha Berkuasa atas diriku”. Kemudian ia
melanjutkan: “Ya Allah, Engkau telah membuatku lapar dan telah membuat
anak-anakku lapar. Engkau telah membuatku telanjang dan telah membuat
anak-anaku telanjang. Dan Engkau tidak memberikan pelita kepadaku
apabila hari telah gelap. Semua itu telah Engkau lakukan terhadap
sahabat-sahabat-Mu, Karena keluhuran spiritual, apakah Fuzail telah
menerima kehormatan-Mu ini?” ooo Selama
tiga puluh tahun tidak seorang pun pernah melihat Fuzail tersenyum
kecuali ketika puteranya meninggal dunia, Pada waktu itulah orang-orang
melihat Fuzail tersenyum. Seseorang menegurnya. “Guru, mengapakah engkau justru tersenyum disaat-saat yang seperti ini?” ”Aku menyadari bahwa Allah menghendaki agar anakku mati. Aku tersenyum karena kehendak-Nya telah terlaksana”, jawab Fuzail. ooo Fuzail mempunyai dua orang anak perempuan. Menjelang akhir hayatnya Fuzail menyampaikan wasiat terakhir kepada isterinya: “Apabila aku mati bawalah anak-anak kita ke gunung Abu Qubais. Di sana tengadahkan wajahmu dan berdoalah kepada Allah; "Ya
Allah, Fuzail menyuruhku untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada-Mu;
ketika aku hidup kedua anak-anak yang tak berdaya ini telah kulindungi
dengan sebaik-baiknya. Tetapi setelah Engkau mengurungku di dalam kubur,
mereka kuserahkan kepada-Mu kembali”. Setelah Fuzail
dikebumikan, isterinya melakukan seperti yang dipesankan kepadanya. Ia
pergi ke puncak gunung Abu Qubais membawa kedua anak perempuannya.
Kemudian ia berdoa kepada Allah sambll menangis dan meratap. Kebetulan
pada saat itu, pangeran dari negeri Yaman beserta kedua puteranya
melalui tempat itu. Menyaksikan mereka yang menangis dan meratap itu,
sang pangeran bertanya: “Apakah kemalangan yang telah menimpa diri kalian?” Isteri Fuzail menerangkan keadaan mereka. Kemudian si pangeran berkata: “Jika
kedua puterimu kuambil untuk kedua puteraku ini dan untuk masing-masing
di antara mereka kuberikan sepuluh ribu dinar sebagai mas kawinnya,
apakah engkau merasa cukup puas?” “Ya”, jawab si ibu. Segeralah
sang pangeran mempersiapkan tandu-tandu, permadani permadani dan
brokat-brokat kemudian membawa si ibu beserta kedua puterinya ke negeri
Yaman.[] |
Komentar
Posting Komentar