Nama lengkap Dzun-Nun
Al-Mishri adalah Abu Al-Faid Tsauban bin Ibrahim, Ia dilahirkan di
Ikhmin, dataran tinggi Mesir, Pada tahun 180 H/796 M. Dan wafat pada
tahun 246 H/856 M dan makam kan dekat makam Amr bin Ash dan Uqbah bin AL
Harun.[3] Ia adalah seorang sufi besar dari Mesir, Seorang ahli kimia
dan fisika dan dia juga seorang sufi yang pertama kali menganalisis
ma’rifah secara konsepsional. Nama Dzun-Nun mempunyai makna tersendiri,
yaitu arti dari namanya adalah ”seseorang yang mempunyai huruf Nun dari
mesir”. Huruf Nun ini mempunyai makna tersendiri pula bahwa huruf Nun
adalah sebuah simbol yang mempunyai makna spiritual power. Huruf Nun
dimaknai sebagai relasi antara Tuhan dan hambanya, dimana huruf Nun ini
mempunyai sebuah titik ditengah dan garis yang melingkarinya. Simbol
tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik
tujuan sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan.
Kaum
sufi juga memaknai simbol ini sebagai simbol kesadaran dalam
kehidupannya. Begitu pula dengan Dzun-Nun Al-Mishri, dia mengetahui dan
sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya apalagi sebagai nama dari
dirinya sendiri. Yang kemudian makna dari namanya itu membawayanya serta
mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada
Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan
berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada
huruf Nun tersebut, dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah SWT.
Yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Huwa al-Awwalu waal-Aakhiru waal-Dhaahiru wal-Baathinu wa-Huwa Bikulli Syay-in 'Aliimun”
Artinya
: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadiid : 3 ).
Jadi
bisa kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya dengan
huruf Nun yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari kehidupan,
dan titik sentral tersebut adalah sesuatu yang awal dan yang akhir.
Sang Wali yang Haus Hikmah
Sufi
agung yang memberikan kontribusi besar terhadap dunia pemahaman dan
pengamalan hidup dan kehidupan secara mendalam antara makhluk dengan
sang pencipta, makhluk dan sesama ini mempunyai nama lengkap al-Imam
al-A'rif al-Sufy al-Wasil Abu al-Faidl Tsauban bin Ibrahim, dan terkenal
dengan Dzunnun al-Misry. Kendati demikian besar nama yang disandangnya
namun tidak ada catatan sejarah tentang kapan kelahirannya.
Perjalanan Menuju Mesir
Waliyullah
yang bangga dan dibanggakan oleh Mesir ini berasal dari Nubay (satu
suku di selatan Mesir) kemudian menetap di kota Akhmim (sebuah kota di
propinsi Suhaj). Kota Akhmin ini rupanya bukan tempat tinggal
terakhirnya. Sebagaimana lazimnya para sufi, ia selalu menjelajah bumi
mensyiarkan agama Allah mencari jati diri, menggapai cinta dan
ma'rifatulah yang hakiki.
Suatu ketika dalam perjalanan yang
dilalui kekasih Allah ini, ia mendengar suara genderang berima rancak
diiringi nyanyi-nyanyian dan siulan khas acara pesta. Karena ingin tahu
apa yang terjadi ia bertanya pada orang di sampingnya: "ada apa ini?".
Orang tersebut menjawab : Itu sebuah pesta perkawinan. Mereka
merayakannya dengan nyanyi-nyanyian dan tari-tarian yang diiringi musik
". Tidak jauh dari situ terdengar suara memilu seperti ratapan dan
jeritan orang yang sedang dirundung duka. "Fenomena apa lagi ini ?"
begitu pikir sang wali. Iapun bertanya pada orang tadi. Dengan santai
orang tersebut menjawab : "Oh ya, itu jeritan orang yang salah satu
anggota keluarganya meningal. Mereka biasa meratapinya dengan jeritan
yang memekakkan telinga ". Di sana ada suka yang dimeriahkan dengan
warna yang tiada tara. Di sini ada duka yang diratapi habis tak bersisa.
Dengan suara lirih, ia mengadu : "Ya Allah aku tidak mampu mengatasi
ini. Aku tidak sanggup berlama-lama tinggal di sini. Mereka diberi
anugerah tidak pandai bersyukur. Di sisi lain mereka diberi cobaan tapi
tidak bersabar ". Dan dengan hati yang pedih ia tinggalkan kota itu
menuju ke Mesir (sekarang Kairo).
Perjalanan ke Dunia Tasawuf
Banyak
cara kalau Allah berkehendak menjadikan hambanya menjadi kekasihnya.
Kadang berliku penuh ombak dan duri. Kadang lurus bak jalan bebas
hambatan. Kadang melewati genangan lumpur dan limbah dosa. Tak
dikecualikan apa yang terjadi pada Dzunnun al-Misri. Bukan wali yang
mengajaknya ke dunia tasawuf. Bukan pula seorang alim yang mewejangnya
mencebur ke alam hakikat. Tapi seekor burung lemah tiada daya.
Pengarang
kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah bercerita bahwa Salim al-Maghriby
menghadap Dzunnun dan bertanya "Wahai Abu al-Faidl !" begitu ia
memanggil demi menghormatinya "Apa yang menyebabkan Tuan bertaubat dan
menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah SWT ? ". "Sesuatu yang
menakjubkan, dan aku kira kamu tidak akan mampu". Begitu jawab al-Misri
seperti sedang berteka-teki. Al-Maghriby semakin penasaran "Demi Dzat
yang engkau sembah, ceritakan padaku" lalu Dzunnun berkata : "Suatu
ketika aku hendak keluar dari Mesir menuju salah satu desa lalu aku
tertidur di padang pasir. Ketika aku membuka mata, aku melihat ada
seekor anak burung yang buta jatuh dari sangkarnya. Coba bayangkan, apa
yang bisa dilakukan burung itu. Dia terpisah dari induk dan saudaranya.
Dia buta tidak mungkin terbang apalagi mencari sebutir biji. Tiba-tiba
bumi terbelah. Perlahan-lahan dari dalam muncul dua mangkuk, yang satu
dari emas satunya lagi dari perak. Satu mangkum berisi biji-bijian
Simsim, dan yang satunya lagi berisi air. Dari situ dia bisa makan dan
minum dengan puas. Tiba-tiba ada kekuatan besar yang mendorongku untuk
bertekad : "Cukup… aku sekarang bertaubat dan total menyerahkan diri
pada Allah SWT. Akupun terus bersimpuh di depan pintu taubat-Nya, sampai
Dia Yang Maha Asih berkenan menerimaku".
Dzun
Nun adalah seorang Mesir yang menjelajah luas untuk belajar sufisme dan
dihukum karena ajarannya tentang sufisme. Dia dianggap sebagai salah
satu "Wali yang Tersembunyi" dan Wali Qutb oleh para sufi sezamannya.
Dia memiliki wawasan yang luas tentang misteri-misteri Ilahi dan doktrin
Kesatuan. Beliau adalah guru sufi besar di zamannya. Berikut
pembicaraan beliau tentang hakikat :
Pada
perjalanan pertamaku, aku temukan sejenis ilmu yang dapat diterima baik
oleh kaum pilihan maupun kaum awam. Saat perjalanan kedua, kuperoleh
ilmu yang dapat diterima oleh kaum pilihan dan bukan untuk kaum awam.
Pada perjalanan ketiga, ilmu yang tidak dapat diterima, baik oleh kaum
pilihan maupun kaum awam, dan aku masih saja terdampar dan sendirian.
Ilmu pertama adalah pertobatan, yang baik kaum pilihan maupun kaum awam menerimanya. Kedua adalah kepercayaan kepada Allah dan keintiman dengan-Nya, yang hanya diterima oleh kaum pilihan. Dan ketiga adalah hakikat, yang berada di atas jangkauan manusia cerdas dan berakal, sehingga mereka menolaknya.
Ada
tiga jenis ilmu, pertama, ilmu tentang Keesaan Tuhan dan ilmu ini
dipahami oleh semua kaum beriman. Kedua, ilmu yang didapat dengan
pembuktian dan penunjukan, dan ilmu ini milik orang-orang bijak dan
mulia serta orang-orang pintar. Dan ketiga, ilmu Sifat-sifat Kesatuan,
dan ini milik para wali, mereka yang merenungkan Wajah Tuhan dalam kalbu
mereka, sehingga Tuhan menampakkan Diri di hadapan mereka dengan cara
di mana Dia tidak terlihat oleh orang-orang lain di dunia ini.
Ciri
kearifan falsafah Dzun Nun tercermin dalam ungkapannya: “Aku mengenal
Allah dari Allah, dan aku mengetahui apa yang di samping Allah dari
Rasulullah.” Dalam sebuah paparannya tentang kaum arif atau sufi sejati,
Dzun Nun mengatakan:
Sang
arif semakin rendah hati (tawadhu) setiap saat, dan setiap saat dia
semakin dekat kepada Tuhannya. Kaum Arifin melihat tanpa pengetahuan,
tanpa penglihatan, tanpa penggambaran, tanpa halangan dan tanpa tirai.
Mereka bukan diri mereka sendiri, tetapi sepanjang keberadaannya mereka
itu berada di dalam Tuhan. Gerak-gerik mereka disebabkan oleh Allah dan
kata-kata mereka adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui
lidah-lidah mereka, dan penglihatan mereka adalah penglihatan Tuhan,
yang telah memasuki mata mereka. Demikianlah, Allah Yang Maha Tinggi
berfirman: “Jika Aku mencintai hamba-Ku, maka Akulah telinganya yang
dengannya dia mendengar, Akulah mata-Nya yang dengannya dia melihat dan
Akulah lidahnya yang dengannya dia berbicara, dan Akulah tangannya yang
dengannya dia memegang.”
Ajaran
Dzun Nun telah mengilhami banyak Sufi. Bahkan makna nama Dzun Nun
sendiri sering menjadi perhatian para sufi generasi kemudian. Nun (huruf
yang menjadi pembuka surat al-Qalam: Nun wa al-qalam) juga berarti
“ikan.” Dzun Nun adalah orang yang, seperti Nabi Yunus as, “ditelan
ikan,” atau masuk ke dalam kefanaan, dan setelah melewati pengalaman di
dalam ikan itu dia merasakan bagai huruf nun: “Kemudian aku menjadi
lengkung laksana huruf nun, hingga aku menjelma Dzun Nun sejati”
demikian kata sufi-penyair Maulana Rumi dalah salah satu Diwannya. Dzun
Nun wafat pada 245 H. dalam salah satu riwayat sebagaimana dituturkan
al-Hujwiri, di malam kematiannya ada 70 orang bermimpi bertemu
Rasulullah. Rasul berkata, “Aku datang menemui wali Allah, Dzun Nun.”
Dan sesudah kematiannya, di keningnya tertera kata-kata: Ini adalah
kekasih Allah, yang mati dalam mencintai Allah, dibunuh oleh Allah.
Setiap kali orang menghapus tulisan tersebut, tulisan itu selalu muncul
lagi. Dalam riwayat lain dikatakan bahwa saat jenazahnya diusung, muncul
sekawanan burung berwarna hijau memayungi iringan jenazah Dzun Nun.
Setelah melihat kejadian-kejadian aneh ini, orang-orang Mesir menyesali
sikap mereka yang zalim terhadap Dzun Nun.
Dzun
Nun mempunyai banyak pengikut yang kelak terkenal sebagai sufi besar.
Ada dua muridnya yang sangat terkenal. Pertama adalah Yusuf ibn
al-Husain (w. 304/916) dari Rayy, Persia, seorang sufi yang terkenal
dengan keikhlasannya dan sering mengungkapkan pengalaman-pengalaman
mistisnya – konon dia berkhotbah selama 50 tahun baik ada pendengarnya
maupun tidak. Dan yang kedua adalah Syekh SAHL AL-TUSTARI, salah satu
guru Syekh Mansur al-Hallaj.
Perjalanan Ruhaniah
Ketika
si kaya tak juga kenyang dengan bertumpuknya harta. Ketika politisi tak
jua puas dengan indahnya kursi. Maka kaum sufi pun selalu haus dengan
kedekatan lebih dekat dengan Sang Kekasih sejati. Selalu ada kenyamanan
yang berbeda. Selalu ada kebahagiaan yang tak sama.
Maka
demikianlah, Dzunnun al-Misri tidak puas dengan hikmah yang ia dapatkan
dari burung kecil tak berdaya itu. Baginya semuanya adalah media
hikmah. Batu, tumbuhan, wejangan para wali, hardikan pendosa, jeritan
kemiskinan, rintihan orang hina semua adalah hikmah.
Suatu
malam, tatkala Dzunnun bersiap-siap menuju tempat untuk ber-munajat ia
berpapasan dengan seorang laki-laki yang nampaknya baru saja mengarungi
samudera kegundahan menuju ke tepi pantai kesesatan. Dalam senyap
laki-laki itu berdoa "Ya Allah Engkau mengetahui bahwa aku tahu
ber-istighfar dari dosa tapi tetap melakukannya adalah dicerca. Sungguh
aku telah meninggalkan istighfar, sementara aku tahu kelapangan
rahmatmu. Tuhanku… Engkaulah yang memberi keistimewaan pada hamba-hamba
pilihan-Mu dengan kesucian ikhlas. Engkaulah Zat yang menjaga dan
menyelamatkan hati para auliya' dari datangnya kebimbangan. Engkaulah
yang menentramkan para wali, Engkau berikan kepada mereka kecukupan
dengan adanya seseorang yang bertawakkal. Engkau jaga mereka dalam
pembaringan mereka, Engkau mengetahui rahasia hati mereka. Rahasiaku
telah terkuak di hadapan-Mu. Aku di hadapan-Mu adalah orang lara tiada
asa". Dengan khusyu' Dzunnun menyimak kata demi kata rintihan orang
tersebut. Ketika dia kembali memasang telinga untuk mengambil hikmah di
balik ratapan lelaki itu, suara itu perlahan menghilang sampai akhirnya
hilang sama sekali di telan gulitanya sang malam namun menyisakan
goresan yang mendalam di hati sang wali ini.
Di
saat yang lain ia bercerita pernah mendengar seorang ahli hikmah di
lereng gunung Muqottom. " Aku harus menemuinya " begitu ia bertekad
kemudian. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan iapun bisa
menemukan kediaman lelaki misterius. Selama 40 hari mereka bersama,
merenungi hidup dan kehidupan, memaknai ibadah yang berkualitas dan
saling tukar pengetahuan. Suatu ketika Dzunnun bertanya : "Apakah
keselamatan itu?". Orang tersebut menjawab "Keselamatan ada dalam
ketakwaan dan al-Muroqobah (mengevaluasi diri)". "Selain itu ?". pinta
Dzunnun seperti kurang puas. "Menyingkirlah dari makhluk dan jangan
merasa tentram bersama mereka!". "Selain itu ?" pinta Dzunnun lagi.
"Ketahuilah Allah mempunyai hamba-hamba yang mencintai-Nya. Maka Allah
memberikan segelas minuman kecintaan. Mereka itu adalah orang-orang yang
merasa dahaga ketika minum, dan merasa segar ketika sedang haus". Lalu
orang tersebut meninggalkan Dzunnun al-Misri dalam kedahagaan yang
selalu mencari kesegaran cinta Ilahi.
Kealiman Dzun-Nun al-Misri
Betapa
indahnya ketika ilmu berhiaskan tasawuf. Betapa mahalnya ketika tasawuf
berlandaskan ilmu. Dan betapa agungnya Dzunnun al-Misri yang dalam
dirinya tertata apik kedalaman ilmu dan keindahan tasawuf. Nalar siapa
yang mampu membanyah hujjahnya. Hati mana yang mampu berpaling dari
untaian mutiara hikmahnya. Dialah orang Mesir pertama yang berbicara
tentang urutan-urutan al-Ahwal dan al-Maqomaat para wali Allah.
Maslamah
bin Qasim mengatakan "Dzunnun adalah seorang yang alim, zuhud wara',
mampu memberikan fatwa dalam berbagai disiplin ilmu. Beliau termasuk
perawi Hadits". Hal senada diungkapkan Al-Hafidz Abu Nu'aim dalam
Hilyah-nya dan al-Dzahabi dalam Tarikh-nya bahwasannya Dzunnun telah
meriwayatkan hadits dari Imam Malik, Imam Laits, Ibn Luha'iah, Fudhail
ibn Iyadl, Ibn Uyainah, Muslim al-Khowwas dan lain-lain. Adapun orang
yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah al-Hasan bin Mus'ab
al-Nakha'i, Ahmad bin Sobah al-Fayyumy, al-Tho'i dan lain-lain. Imam Abu
Abdurrahman al-Sulamy menyebutkan dalam Tobaqoh-nya bahwa Dzunnun telah
meriwayatkan hadis Nabi dari Ibn Umar yang berbunyi " Dunia adalah
penjara orang mu'min dan surga bagi orang kafir".
Di samping
lihai dalam ilmu-ilmu Syara', sufi Mesir ini terkenal dengan ilmu lain
yang tidak digoreskan dalam lembaran kertas, dan datangnya tanpa sebab.
Ilmu itu adalah ilmu Ladunni yang oleh Allah hanya khusus diberikan pada
kekasih-kekasih-Nya saja.
Karena demikian tinggi dan luasnya
ilmu sang wali ini, suatu ketika ia memaparkan suatu masalah pada orang
di sekitarnya dengan bahasa Isyarat dan Ahwal yang menawan. Seketika itu
para ahli ilmu fiqih dan ilmu 'dhahir' timbul rasa iri dan dan tidak
senang karena Dzunnun telah berani masuk dalam wilayah (ilmu fiqih)
mereka. Lebih-lebih ternyata Dzunnun mempunyai kelebihan ilmu Robbany
yang tidak mereka punyai. Tanpa pikir panjang mereka mengadukannya pada
Khalifah al-Mutawakkil di Baghdad dengan tuduhan sebagai orang Zindiq
yang memporak-porandakan syari'at. Dengan tangan dirantai sufi besar ini
dipanggil oleh Khalifah bersama murid-muridnya. "Benarkah engkau ini
zahidnya negeri Mesir?". Tanya khalifah kemudian. "Begitulah mereka
mengatakan". Salah satu pegawai raja menyela : "Amir al-Mu'minin senang
mendengarkan perkataan orang yang zuhud, kalau engkau memang zuhud ayo
bicaralah".
Dzunnun menundukkan muka sebentar lalu berkata "Wahai
amiirul mukminin…. Sungguh Allah mempunyai hamba-hamba yang
menyembahnya dengan cara yang rahasia, tulus hanya karena-Nya. Kemudian
Allah memuliakan mereka dengan balasan rasa syukur yang tulus pula.
Mereka adalah orang-orang yang buku catatan amal baiknya kosong tanpa
diisi oleh malaikat. Ketika buku tadi sampai ke hadirat Allah SWT, Allah
akan mengisinya dengan rahasia yang diberikan langsung pada mereka.
Badan mereka adalah duniawi, tapi hati adalah samawi…….".
Dzunnun
meneruskan mauidzoh-nya sementara air mata Khalifah terus mengalir.
Setelah selesai berceramah, hati Khalifah telah terpenuhi oleh rasa
hormat yang mendalam terhadap Dzunnun. Dengan wibawa khalifah berkata
pada orang-orang datang menghadiri mahkamah ini : "Kalau mereka ini
orang-orang Zindiq maka tidak ada seorang muslim pun di muka bumi ini".
Sejak saat itu Khalifah al-Mutawaakil ketika disebutkan padanya orang
yang Wara' maka dia akan menangis dan berkata "Ketika disebut orang yang
Wara' maka marilah kita menyebut Dzunnun".
Kesabaran Dzun Nun al-Misri
Dzun
Nun al-Misri mempunyai seorang anak perempuan yang sangat saleh. Ketika
putrinya masih sangat muda, dia bersama bapaknya ke laut dan menjala
ikan. Dzun Nun masuk ke air, dan putrinya menunggu di bibir pantai.
Setelah beberapa lama menebar jala, tak satupun ikan yang dapat, namun
pada akhirnya, dia mendapatkan ikan besar yang tersangkut di jalanya.
Ketika Dzun Nun siap memasukkan ikan hasil tangkapannya itu ke dalam
wadah ikan, putrinya segera mengambil ikan itu dan melepaskannya kembali
ke dalam air laut. Ikan itu berenang menjauh ke tengah laut.
Dzun
Nun kaget dan bertanya pada putrinya, "Mengapa engkau membuang ikan
hasil tangkapan kita?" "Aku menyaksikan ikan itu tengah menggerakan
mulutnya. Aku lihat dia sedang berzikir dan menyebut nama Allah. Aku
tidak mau memakan mahluk yang berzikir kepada Allah." Jawab anaknya.
Putri
Dzun Nun memegang tangan Bapaknya seraya berkata, "Bersabarlah, Bapak.
Kita seharusnya berserah diri kepada Allah. Sesungguhnya Dia akan
memberi rizki kepada kita".
Mereka berdua
kemudian shalat di tepi pantai dan tawakkal kepada Allah. Hingga sore
hari. Akhirnya mereka pulang ke rumah. Setelah sholat isya', tempat
makan mereka penuh dengan makanan. Makanan itu dikirim oleh Allah untuk
mereka. Setiap hari, selama lebih dari sebelas tahun. Sampai pada suatu
hari ketika anaknya meninggal dunia, mendahului bapaknya, saat itu pula,
makanan itu sudah tidak ada lagi di tempat makanan. Dia akhirnya sadar
bahwa, kesabaran anaknya itu membuahkan kasih sayang Allah padanya. .
Kunci
kesabaran di sini adalah berserah pada kuasa Allah, tak ada yang akan
kelaparan dan mati di dunia secara sia-sia. Allah akan memberikan rizki
pada semua manusia, bahkan dengan tawakkal, sabar dan berserah diri pada
Allah, Dia tidak akan membiarkan Hambanya terlantar dan menderita.
Dalam
suasana krisis seperti ini, harapan dan usaha perlu diseimbangkan.
Sabar tidak membuat manusia malas-malasan dan hanya berserah diri, namun
sabar adalah benteng untuk menahan diri menghabiskan isi bumi dengan
serakah. Semua harus berusaha dan berupaya agar dapat melanjutkan hidup
dan kuat terhadap apa yang terjadi.
Pujian para ulama' terhadap Dzun-Nun
Tidak
ada maksud paparan berikut ini supaya Dzunnun al-Misri menjadi lebih
terpuji. Sebab apa yang dia harapkan dari pujian makhluk sendiri ketika
Yang Maha Sempurna sudah memujinya. Apa artinya sanjungan berjuta
manusia dibanding belaian kasih Yang Maha Penyayang ?. Dan hanya dengan
harapan semoga semua menjadi hikmah dan manfaat bagi semua paparan
berikut ini hadir.
Imam
Qusyairy dalam kitab Risalah-nya mengatakan "Dzunnun adalah orang yang
tinggi dalam ilmu ini (Tasawwuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna
dalam Wara', Haal, dan adab". Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya
al-Jalak mengatakan "Saya telah menemui 600 guru dan aku tidak menemukan
seperti keempat orang ini : Dzunnun al-Misry, ayahku, Abu Turob, dan
Abu Abid al-Basry". Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama
Syaikh Muhiddin ibn Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan
"Dzunnun telah menjadi Imam, bahkan Imam kita".
Pujian
dan penghormatan pada Dzunnun bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata.
Imam al-Munawi dalam Tobaqoh-nya bercerita : “Sahl al-Tustari (salah
satu Imam tasawwuf yang besar) dalam beberapa tahun tidak duduk maupun
berdiri bersandar pada mihrab. Ia juga seperti tidak berani berbicara.
Suatu ketika ia menangis, bersandar dan bicara tentang makna-makna yang
tinggi dan Isyaraat yang menakjubkan. Ketika ditanya tentang ini, ia
menjawab "Dulu waktu Dzunnun al-Misri masih hidup, aku tidak berani
berbicara tidak berani bersandar pada mihrab karena menghormati beliau.
Sekarang beliau telah wafat, dan seseorang berkata padaku padaku :
berbicaralah!! Engkau telah diberi izin".
Cinta dan ma'rifat Suatu
ketika Dzunnun ditanya seseorang : "Dengan apa Tuan mengetahui Tuhan?".
"Aku mengetahui Tuhanku dengan Tuhanku ",jawab Dzunnun. "kalau tidak
ada Tuhanku maka aku tidak akan tahu Tuhanku". Lebih jauh tentang
ma'rifat ia memaparkan : "Orang yang paling tahu akan Allah adalah yang
paling bingung tentang-Nya". "Ma'rifat bisa didapat dengan tiga cara:
dengan melihat pada sesuatu bagaimana Dia mengaturnya, dengan melihat
keputusan-keputusan-Nya, bagaimana Allah telah memastikannya. Dengan
merenungkan makhluq, bagaimana Allah menjadikannya".
Tentang
cinta ia berkata : "Katakan pada orang yang memperlihatkan kecintaannya
pada Allah, katakan supaya ia berhati-hati, jangan sampai merendah pada
selain Allah!. Salah satu tanda orang yang cinta pada Allah adalah dia
tidak punya kebutuhan pada selain Allah". "Salah satu tanda orang yang
cinta pada Allah adalah mengikuti kekasih Allah Nabi Muhammad SAW dalam
akhlak, perbuatan, perintah dan sunnah-sunnahnya". "Pangkal dari jalan
(Islam) ini ada pada empat perkara: “cinta pada Yang Agung, benci kepada
yang Fana, mengikuti pada Alquran yang diturunkan, dan takut akan
tergelincir (dalam kesesatan)".
Karomah Dzun-Nun al-Misri
Imam
al-Nabhani dalam kitabnya “Jami' al-karamaat “ mengatakan: “Diceritakan
dari Ahmad bin Muhammad al-Sulami: “Suatu ketika aku menghadap pada
Dzunnun, lalu aku melihat di depan beliau ada mangkuk dari emas dan di
sekitarnya ada kayu menyan dan minyak Ambar. Lalu beliau berkata padaku
"engkau adalah orang yang biasa datang ke hadapan para raja ketika dalam
keadaan bergembira". Menjelang aku pamit beliau memberiku satu dirham.
Dengan izin Allah uang yang hanya satu dirham itu bisa aku jadikan bekal
sampai kota Balkh (kota di Iran).
Suatu
hari Abu Ja'far ada di samping Dzunnun. Lalu mereka berbicara tentang
ketundukan benda-benda pada wali-wali Allah. Dzunnun mengatakan
"Termasuk ketundukan adalah ketika aku mengatakan pada ranjang tidur ini
supaya berjalan di penjuru empat rumah lalu kembali pada tempat
asalnya". Maka ranjang itu berputar pada penjuru rumah dan kembali ke
tempat asalnya.
Imam
Abdul Wahhab al-Sya'roni mengatakan: “Suatu hari ada perempuan yang
datang pada Dzunnun lalu berkata "Anakku telah dimangsa buaya". Ketika
melihat duka yang mendalam dari perempuan tadi, Dzunnun datang ke sungai
Nil sambil berkata "Ya Allah… keluarkan buaya itu". Lalu keluarlah
buaya, Dzunnun membedah perutnya dan mengeluarkan bayi perempuan tadi,
dalam keadaan hidup dan sehat. Kemudian perempuan tadi mengambilnya dan
berkata "Maafkanlah aku, karena dulu ketika aku melihatmu selalu aku
merendahkanmu. Sekarang aku bertaubat kepada Allah SWT".
Pemuda Yang Berjalan Diatas Air
Diantara
cerita yang diriwayatkan mengenai para kekasih Allah atau wali Allah
adalah cerita yang diberitakan oleh Zin-Nun rahimahullah, katanya :
Sekali
peristiwa, saya bercadang untuk pergi keseberang laut untuk mencari
sustu barang yang saya perlukannya dari sana. Saya pun menempah suatu
tempat disebuah kapal. Bila tiba waktu itu aka berangkat , saya lihat
penumpang penumpangnya yang menaikki terlalu banyak sekali bilanggannya,
yang kebanyakannya dating dari tempat yang jauh , sehingga kapal itu
penuh sesak dengan penumpang.
Saya
terus mengamati amati wajah wajah penumpang itu, dan saya lihat
diantaranya ada seorang pemuda yang sangat kacak rupanya , wajahnya
bersinar cahaya, dan dia duduk ditempatnya dalam keadaan tenang
sekali,tidk seperti penumpang penumpang lain, terus mundar mandir diatas
kapal itu. Udara atas kapal itu agak panas, meski pun angina laut
bertiupan, sekali panasnya dating dari sebab terlalu banyak penumpang
yang berhimpit hempit diantara satu dengan yang lain.
Pada
mulanya kapal itu belayar dengan lancer sekali, kerana baarang kali
lautnya tenang tidak bergelombang, dan angit pun tidak bertiup kencang,
kecuali sekali sekala saja, dan kalau ada pun hanya ombak ombak kecil
biasa dihadapinya.
Dalam keadaan
yang begitu tenang diatas kapal itu, tiba tiba kami dikejutkan oleh
suatu pemberitahuan umum yang mengatakan bahawa nakhoda kapal itu
telah kehilanggan suatu barang sangat berharga, dan hendaklah semua
penumpamn penumpang kapal duduk ditempat masing masing, erana sustu
pengeledahan akan di jalankan tidak lama lagi untuk mencari barang yang
hilang itu.
Kinipenumpang
penumpang kapal kecoh berbicara antara satu dengan yang lain mengenai
barang yang hilang itu. Masing masing cuba mengeluarkan pendapat
bagaimana barang itu boleh hilang. Saya sendiri merasa hairan bagaimana
barang nakhada itu boleh hilang ? Apa kah dicuri orang ? atau pun
barangkali keciciran kerana manusia diatas kapal itu terlalu banyak .
Sebentar lagi nakhoda kapal mengumumkan:
‘semua penumpang hendaklah berada ditempatnya. Sekarang kami akan memulakan penggeledahan !’
Pengeledahan
pun dimulakan oleh beberapa org pegawai kapal itu. Penumpang penumpang
itu semuanya ribut , baik lelaki mau pun wanitnya. Mereka digeledah satu
satu cukup parinya. Begitu pula tempat tidur mereka dibentangkan dan
diraba, kalau kalau barang itu disembunyikan dicelah celahnya. Na,un
barang itu masih belum diketemui lagi. Akhirnya sampailah giliran tempat
si pemuda tampan untuk digeledah. Pada mulanya pemuda itu duduk
ditempatnya dengan tenang sekali . tetapi oleh kerana dia orang yang
terakhir yang diperiksa , maka muka muka orang ramai seolah olah
mengancam memerhatikannya. Mungkin ada orang yang mengatakan didalam
hatinya, barangkali pemuda inilah yang mencuri barang itu. Apabila
pemuda itu dikasari oleh pegawai pegawai kapal itu dalam pemeriksaanya
lalu dia melompat ketepiseraya memprotes: ‘ saya bukan pencuri, kenapa
saya dilakukan begitu kasar?’ Lantaran pemuda itulah satu satunya orang
yang membantah, maka disangka pegawai pegawai kapal itu dial ah pencuri
barang itu. Mereka mahu menangkapnya, maka pemuda itu pun meronta lalu
menerjunkan diri kemuka laut.orang ramai menyerbu kepinggir kapal
hendak melihat pemuda yang terjun kedalam laut itu. Yang menghairankan
bahawa pemuda itu tidak tengelam, malah dia duduk dimuka laut itu,
sebagaimana dia duduk diatas kerusa dan tidak tengelam. Pemuda itu lalu
berkata dengan suara yang keras:
‘Ya
Tuhanku ! Mereka sekaian menuduh ku sebagai pencuri ! Demi Zat Mu ,
wahai Tuan Pembela orang yang terinaya ! Perintahkan lah kiranya semua
ikan ikan dilaut ini supaya timbul dan membawa dimulutnya permata
permata yang berharga !’
Penumpang
penumpang terus merenungkan pandangannya kelaut sekitar kapal itu
ingin melihat jika benar ikan ikan itu akan timbul membaw dimulut nya
permata permata yang berharga ? saya juga ikut sama memerhatikan
permukaan air itu.
Memang benar ,
dengan kuasa Allah , permintaan pemuda itu dikabulkan Tuhan, timbul
disekitar kapal itu beribu ribu ikan dan kelihatan dimulut mulutnya batu
batu putih dan merah berkilauan cahayanya , hingga membuat mata mata
yang memandangnya silau kerananya. Semua orang disitu bersorak menepuk
tangan kepada pemuda itu.
Saya
terus tercengang, tidak dapat berkata apa apa pun. Nakhoda kapal dan
peawai pegawai kapal itu bingung, seolah olah dia tidak percaya apa yang
dilihatnya.
‘Apakah kamu masih
menuduh ku mencuri, padahal perbendaharaan Allah ada ditangan ku, jika
aku mahu boleh aku ambil ?’ Pemuda itu kemudiannya memerintahkan ikan
ikan itu supaya kembali ketempatnya, maka tengelamlah semuanyasemula
ikan ikan tadi, dan orang orang diatas kapal it uterus besorak lagi.
Pemuda
itu lalu berdiri diatas air itu, kemudian berjalan diatasnya secepat
kilat sementara lisannya terus mengucapkan : surah Al-fatihah: 4
‘Hanya kepada Mu lah aku menyembah , dan hanya kepada Mu pula aku meminta bantuan.’’
Dia
terus menjauhi kami, sehingga hilang dari pandangan kami. Saya sama
sekali tidak menduga , bahawa pemuda ini kemungkinan sekali termasuk
kedalam golongan ahli Allah, yang pernah diterangkan oleh Rasulullah
s.a.w. dalam sabdanya yang berbunyi :
“akan
tetap ada dalam umat ku sebanyak tiga puluh orang lelaki, hati hati
mereka sepadan dengan hati Nabi Allah Ibrahim a.s. setiap mati seorang
di antara mereka, diganti Allah seorang lain ditempatnya.”
Tukang emas lah yang tau harga emas
Seorang
pemuda mendatangi Zun-Nun dan bertanya, “Guru, saya tak mengerti
mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat
sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat
perlu, bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan
lain.”
Sang
sufi hanya tersenyum. Ia lalu melepaskan cincin dari salah satu
jarinya, lalu berkata, “Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi
lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah
ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping
emas?”
Melihat
cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu, “Satu keping emas?
Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu.”
“Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil.”
Pemuda
itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang
kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang
lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping
emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja, pemuda itu
tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke
padepokan Zun-Nun dan melapor, “Guru, tak seorang pun berani menawar
lebih dari satu keping perak.”
Zun-Nun,
sambil tetap tersenyum arif, berkata, “Sekarang pergilah kamu ke toko
emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau
tukang emas di sana. Jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia
memberikan penilaian.”
Pemuda
itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun
dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor, “Guru, ternyata para
pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini.
Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas.
Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar.”
Zun-Nun
tersenyum simpul sambil berujar lirih, “Itulah jawaban atas
pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari
pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar” yang
menilai demikian. Namun tidak bagi “pedagang emas”.
“Emas
dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan
dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan
untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses, wahai sobat mudaku. Kita tak
bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan
lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang
kita lihat sebagai loyang ternyata emas.”
‘Ingin’
Seorang
yang berharap diterima sebagai murid berkata kepada pada Dhu al-Nun,
“Saya ingin bergabung dalam Jalan Kebenaran melebihi apapun di dunia
ini.”
Dan
inilah yang dikatakan Dhu al-Nun kepadanya: “Kau boleh ikut serta dalam
kafilah kami jika kau terima dua hal lebih dulu. Yang pertama, kau
harus melakukan hal-hal yang tak ingin kau lakukan. Kedua, kau tidak
akan diizinkan melakukan hal-hal yang ingin kau lakukan.
Ingin adalah apa yang berdiri di antara manusia dan Jalan Kebenaran.”
Kasih Tuhan Tak Berbatas
Suatu
hari, Dzunnun Al-Mishri hendak mencuci pakaian di tepi sungai Nil.
Tiba-tiba ia melihat seekor kalajengking yang sangat besar. Binatang itu
mendekati dirinya dan segera akan menyengatnya.
Dihinggapi
rasa cemas, Dzunnun memohon perlindungan kepada Allah swt agar
terhindar dari cengkeraman hewan itu. Ketika itu pula, kalajengking itu
membelok dan berjalan cepat menyusuri tepian sungai.
Dzunnun
pun mengikuti di belakangnya. Tidak lama setelah itu, si kalajengking
terus berjalan mendatangi pohon yang rindang dan berdaun banyak. Di
bawahnya, berbaring seorang pemuda yang sedang dalam keadaan mabuk. Si
kalajengking datang mendekati pemuda itu. Dzunnun merasa khawatir
kalau-kalau kalajengking itu akan membunuh pemuda mabuk itu.
Dzunnun
semakin terkejut ketika melihat di dekat pemuda itu terdapat seekor
ular besar yang hendak menyerang pemuda itu pula. Akan tetapi yang
terjadi kemudian adalah di luar dugaan Dzunnun. Tiba-tiba kalajengking
itu berkelahi melawan ular dan menyengat kepalanya. Ular itu pun
tergeletak tak berkutik.
Sesudah
itu, kalajengking kembali ke sungai meninggalkan pemuda mabuk di bawah
pohon. Dzunnun duduk di sisi pemuda itu dan melantunkan syair, Wahai
orang yang sedang terlelap, ketahuilah, Yang Maha Agung selalu menjaga
dari setiap kekejian yang menimbulkan kesesatan. Mengapa si pemilik mata
boleh sampai tertidur? Padahal mata itu dapat mendatangkan berbagai
kenikmatan
Pemuda
mabuk itu mendengar syair Dzunnun dan bangun dengan terperanjat kaget.
Segera Dzunnun menceritakan kepadanya segala yang telah terjadi.
Setelah
mendengar penjelasan Dzunnun, pemuda itu sadar. Betapa kasih sayang
Allah sangat besar kepada hambanya. Bahkan kepada seorang pemabuk
seperti dirinya, Allah masih memberikan perlindungan dan penjagaan-Nya
Demikianlah
sekelumit kisah perjalanan hidup waliyullah, sufi besar Dzun Nun
al-Misri yang wafat pada tahun 245 H. Semoga Allah meridlainya.
Wallahu a’lam.
|
|
Komentar
Posting Komentar