Amir bin Abdullah At-Tamimi
Tawadhu'nya Sufi Sejati
"Demi
Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku
menangis karena panjangnya perjalanan dan sedikitnya bekal"
Salah
satu tabi'in yang dikenal zuhud adalah Syaikh Amir bin Abdullah
At-Tamimi. Nama At-Tamimi pada akhir namanya merupakan penunjuk bahwa ia
berasal dari Bani Tamim, suku Arab asli di Hijaz.
Pada
waktu muda, dia mengabdikan dirinya dan sekaligus berguru kepada Abu
Musa Al-Asy'ari, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang pada waktu
itu menjadi gubernur Bashrah. Karena itulah, hidupnya hanya untuk
beribadah, berjuang membela Islam, dan menuntut ilmu. Tiga hal itulah
yang membuatnya dikenal sebagai ahli zuhud di kota Bashrah.
Seorang
penduduk Bashrah menceritakan kehidupan Amir bin Abdullah, "Aku pernah
mengikuti perjalanan sebuah kafilah yang di dalamnya ada Amir bin
Abdullah at-Tamimi. Ketika malam tiba, kami beristirahat di bawah
pepohonan besar dekat sumber air. Saat itulah Amir membereskan
perbekalannya, kemudian mengikat kudanya pada sebuah pohon. Tali kuda
itu sengaja dibuat panjang. Dia juga mengumpulkan rumput yang dapat
mengenyangkan kuda. Setelah itu ia memasuki sela-sela pepohonan dan
menjauh dari kami.
Melihat itu aku berkata dalam hati, `Demi
Allah, akan aku ikuti dan perhatikan apa yang dia kerjakan dalam belukar
pada malam-malam seperti ini.'
Dia terus
menelusuri semak belukar hingga sampai pada sebuah tempat yang
terselubungi oleh pepohonan dan tak terlihat oleh orang lain. Kemudian
ia berdiri tegak menghadap kiblat dan shalat. Baru kali ini aku melihat
seseorang shalat dengan sempurna dan khu syu' seperti itu.
Karena
kelelahan setelah menem puh perjalanan panjang pada siang tadi, kantuk
berat menyerangku,sehingga tertidur. Setelah sekian lama aku terlelap da
lam tidur, aku pun bangun. Sementara itu Amir masih tetap berdiri
shalat dan bermunajat hingga fajar menjelang."
Gentong Penuh Permata
Setiap
kali seruan jihad memanggil, Amir termasuk pelopor dalam menyambutnya.
Dia mujahid yang banyak ber peran saat perang berkecamuk. Dengan gagah
berani, dia menembus barisan musuh. Namun dia tidak berhasrat untuk
mendapatkan ghanimah
(rampasan perang).
Ketika
Sa'ad bin Abi Waqqash, pang lima Perang Qadisiyah, berhasil menundukkan
persia, dia memerintahkan pe tugas untuk mengumpulkan dan menghi tung
ghanimah. Banyak sekali harta kekayaan, perhiasan, dan barang-barang
berharga yang dikumpulkan. Seperlima dikirim ke baitul mal dan sisanya
dibagikan kepada para mujahidin.
Saat para
petugas menghitung harta rampasan dengan disaksikan langsung oleh kaum
muslimin, tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka seorang lelaki
berambut kumal penuh debu membawa sebuah gentong besar.
Dengan
takjub mereka memperhati kan. Ternyata gentong itu penuh dengan batu
permata dan intan berlian. Mereka belum pernah mendapatkan harta
rampasan perang yang sepadan dengannya. Maka mereka pun bertanya kepada
lelaki itu, "Dari mana engkau dapatkan harta simpanan yang sangat
berharga ini?"
"Aku dapatkan pada peperangan ini di tempat ini," jawabnya singkat.
"Apakah engkau mengambil bagian?" tanya mereka.
"Demi Allah, gentong ini dan segala yang dimiliki raja-raja Persia bagiku tak senilai dengan ujung kuku sama sekali.
Sekiranya tidak ada hak baitul mal di dalamnya, tentu tak akan aku angkat dan
aku gendong ke tengah-tengah kalian," jawab lelaki itu.
"Siapakah engkau," tanya mereka penasaran.
"Tidak,
demi Allah, aku tak akan memberi tahu kalian, juga orang lain, agar
kalian tidak memuji dan menyanjungku. Aku hanya memuji dan menyan jung
Allah serta mengharap pahala dari Nya," kata lelaki itu seraya berlalu
meninggalkan mereka.
Terdorong oleh rasa
penasaran yang amat sangat, mereka mengutus seseorang untuk membuntuti
dan mencari informasi tentang lekaki itu. Tanpa sepengetahuannya, lelaki
itu terus diikuti hingga tibalah ia di tengah sahabat-sahabatnya.
Ketika orang yang membuntuti itu menanyakan perihal lelaki tersebut
kepada mereka, mereka menjawab, `Tidakkah engkau mengetahuinya? Dialah
ahli zuhud kota Bashrah, Syaikh Amir bin Abdillah At-Tamimi."
Lidah Basah dengan Dzikrullah
Amir
menghabiskan sisa hidupnya di negeri Syam dan memilih Baitul Maqdis
sebagai tempat tinggal. Ketika sakitnya makin berat, para sahabatnya
menjenguk dan mendapatinya sedang menangis.
Mereka pun
bertanya, "Apakah yang menjadikan engkau menangis? Bukankah engkau orang
yang begini dan begitu (menyebutkan berbagai macam ke baikan)."
"Demi
Allah, aku menangis bukan karena cinta dunia dan takut mati. Aku
menangis karena panjangnya perjalanan dan sedikitnya bekal. Apa yang
telah aku jalani, antara naik dan turun, ke surga atau ke neraka, aku
tak tahu ke mana aku akan kembali."
Kemudian dia mengembuskan nafas terakhir. Sementara lidahnya basah dengan dzikrullah.
Syaikh Amir
bin Abdillah At-Tamimi meninggal pada masa pemerintahan Khalifah
Mu'awiyah bin Abu Sufyan, sekitar akhir abad pertama Hijriyyah. la
dimakamkan di Baitul Maqdis
|
Komentar
Posting Komentar