Al-Imam Abu Syuja’ Al-Ishfahani

Syaikh Abi Syuja’ memang bukan tergolong ulama yang produktif dalam menulis. Namun satu di antara dua karyanya telah menempati posisi yang paling unggul di kalangan ulama dan pelajar di seantero dunia Islam. Inilah wujud dari sebuah keberkahan menulis.

Syaikh Al-Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ adalah seorang ulama besar dalam madzhab Imam Asy-Syafi’i pada tingkatan generasi kelima. Tidak banyak diketahui perihal kehidupannya, kecuali lantaran se­buah karya mungilnya yang penuh ke­berkahan, yang mengangkat derajatnya di masa kemudian. Tak banyak diketahui dengan pasti tahun kelahirannya, namun perkiraan yang paling mendekati masa-masa kehidupannya menyatakan bahwa ia lahir antara tahun 433 H/1041 M atau 434 H/1042 M, sebagaimana tertuang dalam kitab Kasyf azh-Zhunun, karya Haji Khalifah, dan kitab Thabaqat Syafi’iyyah, karya Tajuddin As-Subki.

Terlepas dari itu, ketermasyhuran ulama besar Syafi’iyah kelahiran Bash­rah ini tampak dari sebuah karyanya ber­tajukMatn Ghayah at-Taqrib, sebuah kitab fiqih yang amat ringkas yang me­ngulas amaliah ibadah dalam madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Sepertinya hampir tak mungkin seorang pun santri, asatidz, atau ulama yang tak mengenal kitab tipis ini, karena kitab ini menjadi salah satu pegangan mendasar di dalam belajar fiqih, baik di dunia pesantren maupun ma­jelis ta’lim di seluruh dunia Islam.

Salah satu karya lainnya yang dinis­bahkan kepadanya ialah kitab Syarh Al-Iqna li Qadhi al-Qudhat Abi Al-Hasan Al-Mawardi. Patut diketahui, ada juga kitab Al-Iqna lainnya, yang di antaranya me­rupakan kitab hasyiyah atas syarh Matn Taqrib, karya Syaikh Abi Syuja’, yang ditulis oleh Asy-Syirbini dan Al-Manufi. Jadi jangan terkecoh tentang Al-Iqna yang dimaksud sebagai karya Syaikh Abi Syuja’.

Syaikh Abi Syuja’ memang bukan tergolong ulama yang produktif dalam menulis. Namun karya bidang fiqihnya tersebut telah menempati posisi yang paling unggul di kalangan ulama dan pelajar di seantero dunia Islam. Kitab ini dikenal juga dengan nama Ghayah al-Ikhtishar atau Mukhtashar Abi Syuja’ atau Matn Abi Syuja’. Sebahagian orang terbiasa menyebutnya Matn al-Ghayah wa at-Taqrib, yang sesungguhnya judul aslinya Matn Ghayah at-Taqrib, tanpa wa.

Karyanya nan tipis ini nyatanya ba­nyak disyarah, diberi hasyiyah (catatan penjabaran), serta diikhtisar menjadinazham (syair) oleh ulama di masa belakangan. Kitab-kitab syarahnya di antaranya kitab Imam Taqiyyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, Imam Ahmad Al-Akhshashi, Syarh Mukhtashar Abi Syuja’, Imam Muhammad bin Qasim Al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, Imam Waliyuddin Al-Basyir, An-Nihayah fi Syarh al-Ghayah, Imam Muhammad Asy-Syirbini Al-Khatib, Al-Iqna‘ fi Hall Alfazh Abi Syuja’, Imam Ahmad bin Al-Qasim Al-‘Ubbadi, Fath al-Ghaffar bi Kasyf Mukhabba’at Ghayah al-Ikhtishar, Imam Ahmad bin Muhammad Al-Manufi,Al-Iqna’ dan Tasynif al-Asma’ Bihall Alfazh Abi Syuja’, Imam Waliyyuddin Al-Bashir, An-Nihayah fi Syarh al-Ghayah.

Sedangkan kitab-kitab hasyiyah atas syarah-syarah itu tak terhitung lagi. Mung­kin bisa di sebut di sini, di antara­nya, Hasyiyah al-Baijuri dan Hasyiyah Qalyubi wa Umairah atas kitab Fath al-QaribHasyiyah Tuhfah al-Habib Al-Bujairami, Hasyiyah Kifayah al-Labib Al-Mudabighi, Hasyiyah Al-Ajhuri atas Kitab Al-Iqna karya Asy-Syirbini.

Sedangkan para penulis nazham atas kitab Matn Taqrib ini, di antaranya, Syaikh Ahmad Al-Ibsyihi, Syaikh Ahmad bin Abdussalam Al-Manufi, Syaikh Al-Imrithi, Syaikh Ahmad bin Al-Hijazi Al-Fasyani.

Terlalu banyak untuk disebutkan di sini siapa saja ulama-ulama yang mem­berikan apresiasi besar atas karya Syaikh Abi Syuja’. Belum lagi yang menerjemah­kan dan mensyarahnya dalam bahasa non-Arab, termasuk para ulama di Nu­santara yang banyak mengerahkan te­naga dan pikirannya untuk membumikan paham madzhab Imam Asy-Syafi’i ra­himahullah Ta’ala hingga hari ini.

Antara Al-Wazir dan Al-Qadhi

Ketokohan Al-Qadhi Syihabuddin wal millah Abu Ath-Thayyib Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Ashfahani Al-‘Abbadani Al-Bashri Asy-Syafi’i, atau yang lebih dikenal dengan nama Syaikh Abi Syuja’, terlahir dari sebuah karya ke­cilnya tersebut. Sayangnya, ketermasy­hurannya menimbulkan kekeliruan besar dalam menulis riwayat hidupnya, dan itu telah berlangsung cukup lama, termasuk oleh para ulama yang menulis kitab-kitab syarah maupun hasyiyah dengan menyi­sipkan secuil biografi Syaikh Abi Syuja’.

Sebagaimana disebutkan As-Subki dan Haji Khalifah dalam karyanya ma­sing-masing, Ath-Thabaqat dan Kasyf azh-Zhunun, telah terjadi kekeliruan yang mendasar dalam menulis tokoh ini dengan tokoh lain. Memang sepintas ke­dua tokoh yang sama-sama mendapat julukan Abu Syuja’ ini memiliki kemiripan dalam beberapa hal, seperti masa hidup, madzhab, dan tempat akhir kehidup­an­nya, Madinah Al-Munawwarah.

Penjelasan riwayat hidup Imam Abi Syuja’ pengarang Kitab Taqrib yang ba­nyak diurai dalam beberapa kitab sya­rah, seperti Fath al-Qarib, misalnya, di­kutip oleh beberapa orang ulama setelah itu. Memang tampaknya semua sepakat bahwa Imam Abu Syuja’ lahir pada tahun 433 H/1041 M. Tapi, tahun wafatnya ma­sih diperselisihkan beberapa kalangan. Yang menarik, Imam Al-Baijuri menye­butkan bahwa Abu Syuja’ wafat pada tahun 488 H/1095 M. Demikian juga de­ngan Haji Khalifah dalam Kasyf azh-Zhunun, ia menuturkan bahwa Abu Syuja’ meninggal pada tahun 488 H/1095 M.

Pernyataan bahwa Abu Syuja’ per­nah menjabat wazir (menteri) masih per­lu diselidiki kebenarannya. Sumber-sum­ber kitab sejarah menyebutkan bahwa pada masa itu memang ada seorang wazir dengan julukan Abu Syuja’. Ia di­kenal adil dan alim. Ia juga mengarang penjelasan kitab Takmilah li-Kitab Tajarid al-Umam, karya Ibnu Maska­waih. Ia pun bermadzhab Syafi’i dan ber­guru kepada Syaikh Abu Ishaq Asy-Syirazi di Baghdad. Disebutkan pula, ia terlahir pada tahun 437 H/1045 M dan wafat pada 488 H/1095 M. Tahun wa­fatnya itu sama dengan yang disebut oleh Al-Bajuri dan Haji Khalifah. Di sini­lah timbul kekaburan.

Abu Syuja’ yang dimaksud menteri ialah Muhammad bin Al-Husain bin Mu­hammad Ar-Rudzrawari, yang menjabat menteri Khalifah Al-Muqtadi Billah Al-Abbasi. Ia lahir tahun 437 H/1045 M di Rudzdawar, kota kecil di Ashfahan. Ia di­angkat menjadi menteri oleh Khalifah Abbasi untuk menggantikan ayahnya, yang semula akan diangkat namun ke­buru wafat. Setelah runtuhnya Abba­siyah, ia diangkat oleh Nizhamul Mulk untuk menjadi menteri di Ashfahan tahun 476 H/1083 M. Ia berperan besar dalam beberapa pemerintahan dinasti hingga masa Dinasti Seljuk pada tahun 484 H/1091 M. Kemudian ia hijrah ke Madinah dan menetap di sana, sebagai marbot di Masjid Nabawi. Abu Syuja Muham­mad bin Al-Husain wafat pada tahun 488 H/1095 M di Madinah dan dimakamkan di Pemakaman Al-Baqi’ di sisi makam Sayyidina Ibrahim, putra Rasulullah SAW.

Muhammad bin Al-Husain adalah seorang pejabat negara yang alim dan shalih. Kedudukan dan pangkat yang di­embannya sebagai aparat negara, se­dikit pun tidak mempengaruhi kesha­lih­an, kewara’an, dan kezuhudannya. Se­waktu menduduki jabatan wazir, ia me­nugasi 10 orang pembantunya untuk mem­bagi-bagikan sedekah dan hadiah bagi orang-orang miskin, para ahli ilmu, dan siapa saja yang memerlukannya, sedangkan ia tetap hidup dalam kese­der­hanaannya.

Sementara itu Al-Qadhi Abu Syuja’, pengarang Taqrib yang kita telaah khazanahnya ini, adalah Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Ashfahani. Ia ke­lahiran Bashrah, Irak. Tak banyak di­ketahui riwayat kehidupannya, bahkan sampai-sampai buku-buku biografi dan kitab-kitab sejarah kota Madinah tak menyebutkan kisahnya.

Sedikit diulas bahwa Al-Qadhi Abu Syuja’ dianugerahi umur panjang, yaitu 160 tahun, sebagaimana disebutkan Imam Al-Bujairami dan Imam Al-Baijuri dalam kitab-kitab hasyiyah mereka. Saat ber­hijrah ke kota Madinah Al-Munaw­warah, ia mengabdikan dirinya menjadi pelayan junjungan kita, Nabi SAW, yang berkhidmat menjaga dan melayani bagi pengurusan makam dan masjid Rasul­ullah SAW. Meskipun seorang ulama be­sar, Al-Qadhi Abu Syuja’ tidak segan dan malu untuk membersihkan sendiri ma­kam dan masjid tersebut.

Sungguh pun sampai menjangkau usia lanjut, tubuhnya tetap sehat dan kuat seperti orang muda. Ketika ditanya ihwal kesehatannya itu, ia menjawab, “Aku tidak pernah berbuat maksiat ke­pada Allah dengan anggota tubuhku. Aku memelihara anggota tubuhku dari maksiat pada waktu kecil, maka Allah memeliharanya pada waktu besar.”

Al-Imam Al-Qadhi Abu Syuja’ wafat di kota Madinah pada tahun 593 H/1196 M, bukan 488 H/1095 M, seperti banyak ditulis. Karena penyebutan tahun 488 H dianggap tidak masuk akal, lantaran ia wafat dalam usia yang sangat tua, 160 tahun, sedangkan ditaksir ia lahir di Bashrah pada tahun 433 H/1041 M atau 434 H/1042 M. Menurut sumber lainnya, pada tahun 488 H itu, Syaikh Abu Syuja’ menarik diri dari keramaian dunia untuk berkhalwat, sehingga orang-orang ber­anggapan bahwa ia telah wafat, seba­gaimana disebutkan Imam Al-Baijuri da­lam hasyiyahnya, dan ini juga dibenar­kan As-Subki. Di masjid Nabi Muham­mad SAW itu pula jasadnya dimakam­kan, tepat di dekat Bab Jibril, dengan po­sisi bagian kepala berdekatan dengan ka­mar makam Nabi SAW hanya bebe­rapa langkah.

Walhasil, kedua tokoh ini bertepatan ber­kunyah sama, yaitu Abu Syuja’, sama-sama pernah menetap di Ash­fahan, sama-sama mendarmabaktikan masa tuanya di masjid Nabi, dan sama-sama wafat di kota Madinah.

Mungkin saja para pensyarah Fath al-Qarib, seperti Al-Baijuri, Syaikh Nawawi Banten, dan Yaqut Al-Humawi mengikuti Al-Bujairimi, yang salah satu­nya bersumber dari riwayat Allamah Ad-Dairabi, yang manaqibnya bisa dilihat dari kitab tarikh karya Al-Jabarti, yang mengatakan bahwa Imam Abi Syuja’ hidup hingga berusia 160 tahun dan wa­fat di Madinah Al-Munawwarah pada tahun 593 H/1196 M. Adapun ungkapan “Aku tidak pernah berbuat maksiat ke­pada Allah dengan anggota tubuhku. Aku memelihara anggota tubuhku dari maksiat pada waktu kecil, maka Allah memeliharanya pada waktu besar” oleh banyak ulama dibenarkan sebagai per­kataan Al-Qadhi Abu Syuja’ shahib kitab Taqrib ini.

Pada intinya, untuk mengulas lebih lanjut biografinya lebih baik merujuk apa yang ada dalam Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, karya As-Subki, dan Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah, yang menyebut bah­wa keduanya terpisah dan berbeda asal-usulnya dan akhir hayatnya.

Kitab Taqrib

Terlepas dari banyaknya kekeliruan da­lam penyebutan biografi Al-Qadhi Abu Syuja pengarang kitab Matn Taqribbah­wa, sebagaimana telah disebutkan, Al-Qadhi Abu Syuja’ adalah ulama madz­hab Imam Syafi’i yang berada pada urut­an generasi kelima, yakni pada jajar­an ulama Syafi’i yang wafat setelah ta­hun 500 H/1106 M. Namanya ditemukan oleh Imam Tajuddin As-Subki di dalam Syarh Al-Iqna’ karya Al-Qadhi Al-Mawardi. Di­sebutkan juga di dalam Ath-Thabaqat, karya As-Subki, yang mene­laah biografi para ulama Syafi’iyah, bah­wa Al-Qadhi Abu Syuja’ 40 tahun lebih me­lakukan stu­di atas pandangan-pan­dangan madzhab Imam Syafi’i tersebut. Itu artinya, ia telah malang-melintang menjelajah pemikiran madzhab Imam Syafi’i.

Karyanya yang paling termasyhur ada­lah kitab Matn Ghayah at-Taqrib atau Mukhtashar al-Qadhi Abu Syuja’, yang populer disebut “matan Taqrib” di ka­lang­an santri. Ia adalah sebuah kitab ring­kas­an fiqih dalam Madzhab Syafi’i yang mengandung faidah ilmu yang luas, yang sangat cocok bagi santri pe­mula dan pel­ajar Islam. Karyanya juga adalah kitab ring­kasan terbaik dan mu’­tabar yang per­nah ada dalam Madzhab Syafi’i, seba­gai­mana disebutkan di da­lam hasyiyah Syaikh Al-Bujairami. Sa­king kagumnya, seorang ulama meng­gubah bait-bait syair demi memuji Syaikh Abu Syuja’ dan karya monumentalnya itu:

Wahai yang menghendaki faidah berkesinambungan

Demi peroleh keluhuran dan kemanfaatan

Dekatilah ilmu-ilmu itu

Jadilah kau pemberani

Dengan taqribnya Abi Syuja’

Kata taqrib, dalam syair di atas, ber­makna “pendekatan”. Sedangkan Abi Syuja’ mendapat predikat “Bapak para Pemberani”.

Adalah kitab At-Tadzhib Fi Adillah Matn al-Ghayah Wat Taqrib, karya Syaikh Dr. Mushthafa Dib Al-Bigha, se­orang dok­tor dalam bidang hukum Islam, memapar­kan penjelasan terhadap kitab Matn Taqrib dengan mencantumkan ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits yang mendasari­nya. Atau, dengan kata lain, me­nunjukkan pendalilan terhadap ung­kapan redaksi yang termuat dalam kitab Matan Taqrib.

Penjelasan itu disusun sedemikian rupa oleh Dr. Musthafa agar dapat mem­buktikan bahwa apa yang dinyatakan dalam Taqrib adalah bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Dalil-dalilnya bagaikan benang emas yang mengikat dan menyelem­pangi hukum-hukum syar’i.

Kitab Taqrib Al-Qadhi Abu Syuja’ ini termasuk kitab fiqih yang memuat ru­mus­an-rumusan praktis untuk pegangan kaum muslimin dalam kehidupan me­reka sehari-hari. Formatnya tipis, kecil, te­tapi kandungannya, subhanallah, se­gala bab, segala hukum, segala masalah fiqih, baik tentang ibadah, mu’amalah, mau­pun yang lain, tercakup di dalamnya. Kalimat-kalimatnya pun singkat, padat, lugas, tapi jelas.

Perhatian besar atas kitab Matn Taqrib diberikan para ulama, sehingga lahir beberapa syarah dan hasyiyah atas­nya. Di kalangan umat Islam di ta­nah air kita, kitab Taqrib pun sangat ter­kenal sehingga tiada satu pesantren pun yang tidak mengajarkannya. Beberapa pe­nulis dan kiai telah pula menerjemah­kan, baik ke dalam bahasa Indonesia mau­pun bahasa daerah. Taqrib diajar­kan secara rutin hampir di setiap masjid dan langgar/surau di berbagai tempat di Indonesia, bahkan juga dihafalkan teks­nya. Sung­guh berkah kitab ini....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAQIB/BIOGRAFI

Mahabbah kepadah Awliya dan Shalihin