al-Hakim at-Tirmidzi
Abu
Abdullah Muhammad bin ’Ali bin al-Husain al-Hakim at-Tirmidzi, adalah
salah seorang pemikir tashawuf Islam yang kreatif dan terkemuka, diusir
dari kota kelahirannya, Tirmidzi. Mengungsi ke Nishapur di mana beliau
memberikan ceramah-ceramah pada tahun 285 H/898 M. Karya-karya beliau
yang bersifat psikologis sangat mempengaruhi al-Ghazali, sedang teorinya
yang menghebohkan mengenai Manusia Suci diambil dan dikembangkan oleh
Ibnu Arabi. Sebagai seorang penulis yang kreatif banyak di antara
karya-karya beliau, termasuk sebuah sketsa. otobiografi masih dapat
ditemukan dan beberapa di antaranya telah diterbitkan. PENDIDIKAN DARI HAKIM AT-TIRMIDZI Ia
pemikir mistisisme Islam terkemuka dan kreatif. Tidak berhasil menuntut
ilmu agama ke daerah lain, ia lebih mementingkan mengabdi kepada
ibunya, dan akhirnya ia berguru kepada Nabi Khidir Suatu
hari, ketika cahaya surya yang terik melecut bumi seorang anak lelaki
bernama Abu Abdullah Hakim Al-Tirmidzi memutuskan untuk mengembara
bersama dengan dua sahabatnya, menuntut ilmu. Namun niat luhur itu
kandas, lantaran sang ibu tidak menyetujui keberangkatannya. “Wahai
buah hatiku, mengapa Ananda tega meninggalkan wanita yang sudah renta
tak berdaya ini? Bila engkau pergi, tidak ada lagi seorang pun yang
Ibunda miliki. Sebab selama ini engkaulah tempat sandaranku. Lalu kepada
siapa Ananda akan menitipkan Ibunda yang sebatang kara dan lemah ini?
Kata Ibundanya bercucuran air mata. Apa
boleh buat, ia terpaksa mengurungkan niatnya, sementara kedua
sahabatnya berangkat. Keberangkatan kedua sahabatnya itu sering membuat
Tirmidzi termenung. Suatu hari ia duduk termenung di sebuah makam,
membayangkan kedua sahabatnya yang akan pulang. “Oh sedihnya aku, tiada
seorangpun memperdulikan orang bodoh seperti aku. Sedangkan kedua
sahabatku akan kembali sebagai orang terpelajar dan berpendidikan,”
katanya, dalam hati sangat sedih. Tanpa
disadari, muncul seorang kakek dengan wajah teduh. “Mengapa engkau
menangis, anakku?” tanya si kakek. Maka Tirmidzi pun menceritakan
perihal kegundahan hatinya. Mendengar itu si kakek menawarkan kepada
Tirmidzi untuk belajar kepadanya. “Maukah engkau belajar kepada saya
setiap hari, sehingga engkau dapat melampaui kedua sahabatmu itu dalam
waktu singkat?” kata sang kakek. Tentu saja Tirmidzi sangat senang.
“Baik aku bersedia,” katanya berseri-seri. Hari
demi hari, kakek tua itu mengajar Tirmidzi. Sekitar tiga tahun
kemudian, barulah Tirmidzi menyadari bahwa si kakek itu sesungguhnya
adalah Nabi Khidir. “Rupanya inilah keberuntungan yang kuperoleh karena
telah berbakti kepada Ibuku dengan penuh ketulusan hati,” katanya dalam
hati. Ketika
di kemudian hari, salah seorang murid Tirmidzi, yaitu Abu Bakar
Al-Warraq, mengisahkan, setiap hari minggu Nabi Khidir mengunjungi
Tirmidzi untuk berdiskusi mengenai berbagai persoalan agama. Pada suatu
hari, Tirmidzi berkata kepada Warraq, “Maukah engkau kuajak pergi ke
suatu tempat pada hari ini?” Tanpa pikir panjang, Warraq menjawab,
“Terserah Syekh saja, saya pasti ikut.” Sungai Oxus Maka
mereka pun berangkat, tatkala sampai di sebuah padang pasir, Warraq
melihat sebuah singgasana kencana di bawah naungan sebatang pohon
rindang di pinggir sebuah telaga. Di sana duduk seorang lelaki, yang
berpakaian indah, ketika Syekh Tirmidzi menghampirinya, lelaki itu
berdiri dan mempersilahkan duduk di singgasana. Dan tak lama kemudian 40
orang berdatangan dan berkumpul di situ. Tiba-tiba mereka memberi
isyarat ke atas. Maka seketika itu juga tersajilah berbagai hidangan
lezat, merekapun bersantap bersama. Setelah itu Syekh Tirmidzi berdialog
dengan mereka. Tapi,
bahasa mereka sama sekali tidak dapat dimengerti oleh Warraq. Beberapa
saat setelah itu, Tirmidzi mohon diri. “Mari pergi, karena engkau telah
diberkahi,” katanya kepada Warraq, maka mereka pun pulang. “Wahai
Syekh, apakah arti semua kejadian tadi?” Tempat apakah itu, dan
siapakah mereka itu?” tanya Warraq. “Tempat itu adalah lembah pemukiman
putra-putra Israil,” jawab Tirmidzi. “Tapi,
bagaimana kita dapat pulang pergi dalam waktu sesingkat itu?” tanya
Warraq. “Jika Allah berkenan mengantarkan kita, sampailah kita. Apalah
gunanya kita bertanya, mengapa dan bagaimana, yang penting engkau sudah
sampai ke tujuan, bukan untuk bertanya-tanya,” jawab Tirmidzi. Kemudian
Tirmidzi bertutur mengenai pengalamannya. “Aku pernah berjuang keras
untuk menundukkan hawa nafsu namun aku tidak berhasil. Dalam
keputusasaan, aku berkata dalam hati. “Mungkin Allah telah menciptakan
diriku untuk disiksa di neraka. Lalu untuk apa diri yang terkutuk ini
harus terus kupertahankan? Maka akupun pergi ke pinggir sungai Oxus, di
sana aku minta tolong kepada seseorang untuk mengikat kaki dan tanganku.
Tapi setelah itu, ia pergi meninggalkan aku seorang diri. Lalu aku
berguling-guling menjatuhkan diri ke dalam air, aku ingin mati
tenggelam,” tutur Tirmidzi. Ia
melanjutkan kisahnya, “Ketika aku tercebur ke dalam air, ikatan di
tanganku terlepas dan gulungan ombak mengempaskan tubuhku ke pinggir
sungai. Dengan perasaan kalut terharu aku berseru, “Ya Allah, Yang Maha
Besar, engkau telah menciptakan seorang yang tak pantas diterima, baik
di surga maupun di neraka,” tiba-tiba terbukalah mata hatiku, dan
terlihatlah olehku segala sesuatu yang semetinya dilakukan oleh manusia
terhadap Allah dan dirinya sendiri. Sejak itu, terbebaslah aku dari hawa
nafsu. Selama hayat aku selalu bersyukur, setiap kali mengingat-ingat
hal itu.” Dalam
pada itu, Abu Bakar Al-Warraq punya kisah lain mengenai gurunya itu.
Suatu hari Tirmidzi menyerahkan buku-bukunya kepada Warraq agar dibuang
ke Sungai Oxus. Tapi ia tidak lantas membuangnya, melainkan membacanya
terlebih dahulu. Dari sekian buku yang dibaca, buku-buku itu penuh
dengan seluk beluk dan kebenaran mistik. Maka ia pun tidak jadi
melaksanakan perintah gurunya, dan disimpanlah buku-buku itu di
rumahnya. Membuang Buku Keesokan
harinya Tirmidzi bertanya kepada Warraq. “Apakah buku-buku yang
kuberikan kemarin sudah kau buang ke Sungai Oxus? Lalu kejadian apa yang
kau saksikan setelah itu?” jawab Warraq, “Sudah Ya Syekh, buku-buku itu
telah saya lemparkan ke dalam sungai, tapi saya tidak menyaksikan
kejadian apapun.” Maka kata Tirmidzi lagi. “Kalau begitu berarti engkau
belum membuang buku-buku itu ke sungai, pergilah dan buanglah!” Tentu
saja Warraq terheran-heran. “Apa gerangan yang membuat Tirmidzi rela
melakukan hal itu? Apa yang akan terjadi seandainya buku-buku itu aku
buang ke sungai? Ia bingung dan penasaran. Lalu sambil menyusuri Sungai
Oxus, ia melemparkan buku-buku itu. Seketika
itu juga air sungai itu terbelah, dan antara belahan itu muncul sebuah
peti yang terbuka, dan buku-buku itu terjatuh ke dalam peti itu. Setelah
seluruh buku berada dalam peti, tutup peti itu mengatup sendiri,
sementara air sungai pun bersatu kembali seperti sedia kala. Menyaksikan
kejadian itu, Warraq terheran-heran sambil membaca tasbih. Ketika
Warraq pulang, Tirmidzi bertanya, “Sudahkah engkau lemparkan buku-buku
itu?” Jawab Warraq, “Sudah, Guru, demi keagungan Allah, katakanlah
kepadaku, apakah rahasia di balik semua itu?” Tirmidzi menjelaskan,
“Buku-buku itu memuat segala hal mengenai ilmu sufi yang ditulisnya
dengan keterangan yang sulit dipahami oleh manusia biasa. “Khidir
minta buku-buku itu. Sedangkan peti yang kau lihat tadi itu dibawakan
oleh seekor ikan atas permintaan Khidir. Dan Allah, Yang Mahabesar,
memerintahkan kepada air untuk mengantarkan peti itu kepadanya,” tutur
Tirmidzi. Selain
karomah-karomah yang luar biasa itu, Tirmidzi juga dikenal sebagai
ulama yang ramah. Suatu ketika seorang muridnya bertanya kepada keluarga
Tirmidzi. “Kalau guru sedang marah, apakah kalian tahu?” Maka jawab
salah seorang keluarga Tirmidzi. “Ya, kami tahu. Dan setiap kali ia
marah kepada kami, ia akan bersikap lebih ramah daripada biasanya.
Kemudian ia tidak mau makan dan minum. Ia
menangis dan memohon kepada Allah. “Ya Allah, apakah perbuatanku yang
menimbulkan murka-Mu, sehingga engkau membuat keluargaku sendiri
menentangku? Ya Allah, aku mohon ampunan-Mu, tunjukkan lah mereka jalan
yang benar.” apabila ia berbuat seperti itu, tahulah kami bahwa ia
sedang marah. Dan segeralah kami bertobat, agar ia terlepas dari duka
citanya itu.” ANEKDOT—ANEKDOT MENGENAI TIRMIDZI Pada
waktu itu ada seorang pertapa besar yang selalu mengecam Tirmidzi.
Padahal di atas dunia ini, kecuali sebuah pondok, tidak sesuatu pun yang
dimiliki Tirmidzi. Ketika Tirmidzi pulang dari Hijaz, ternyata seekor
induk anjing telah masuk ke dalam pondoknya yang tak berdaun pintu itu
dan melahirkan anaknya di situ. Tirmidzi tidak mau mengusir anjing itu.
Delapan puluh kali ia pulang pergi ke pondoknya, dan berharap agar si
anjing telah pergi meninggalkan pondok itu membawa anak-anaknya. Pada malam harinya si pertapa bermimpi bertemu dengan Nabi. Di dalam mimpi itu Nabi berkata kepadanya: “Engkau
menentang seorang manusia yang telah delapan puluh kali memberikan
pertolongan kepada seekor anjing. Jika engkau menginginkan kebahagiaan
yang abadi, kencangkanlah ikat pinggangmu dan berbaktilah kepadanya”. Si pertapa, yang sebelumnya enggan membalas salam Tirmidzi sejak saat itu hingga matinya mengabdi kepadanya. *** “Apabila guru marah kepada kalian, apakah kalian tahu?”, seseorang bertanya kepada keluarga Tirmidzi. “Ya, kami tahu”, mereka menjawab, “Setiap kali ia marah kepada kami maka ia bersikap lebih ramah daripada biasanya. Kemudian
ia tidak mau makan dan minum. Ia menangis dan bermohon kepada Allah:
“Ya Allah, apakah perbuatanku yang menimbulkan murka-Mu sehingga engkau
membuat keluargaku sendiri menentangku? Ya Allah, aku mohon ampun-Mu!
Tunjukkanlah mereka jalan yang benar!’ Apabila ia bersifat seperti
demikian, tahulah kami bahwa ia sedang marah. Dan segeralah kami
bertaubat agar ia terlepas dari dukacitanya itu”. *** Ada seorang asket besar yang hidup sezaman dengan At-Tirmidzi. Ia selalu mengkritik At-Tirmidzi. Di
seluruh dunia ini, At-Tirmidzi tak memiliki apapun kecuali sebuah
pondok. Saat ia kembali dari perjalanannya dari Hijaz, seekor anjing
telah melahirkan di pondoknya yang tak berpintu. At-Tirmidzi
tak ingin mengusir anjing itu. Ia datang dan pergi sebanyak delapan
kali dengan harapan anjing itu akan pergi sendiri dengan membawa
anak-anaknya. Malam
itu sang asket itu bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Nabi
berkata, “Sirrah, engkau menentang seseorang yang delapan kali menolong
seekor anjing. Jika engkau menginginkan kebahagiaan abadi, pergilah,
kencangkan ikat pinggangmu, dan mengabdilah padanya.” Sang asket menjadi terlalu malu untuk menjawab salam At-Tirmidzi. Sejak saat itu, ia mengabdi pada At-Tirmidzi. *** Selama beberapa waktu At-Tirmidzi tidak bertemu dengan Nabi Khidir. Pada
suatu hari seorang pembantu wanita mencuci pakaian bayi, membuang
kotoran bayi ke sebuah baskom. Sementara itu Sang Syekh, dengan memakai
jubah yang bersih dan sorban yang tanpa noda, tengah berjalan menuju
masjid. Si pembantu itu, karena merasa kesal dengan sesuatu yang sepele membuang isi baskomnya tepat di kepala Sang Syekh. At-Tirmidzi diam saja dan menelan amarahnya, seketika itu kembali dapat berjumpa dengan Nabi Khidir AS. *** Di
masa mudanya, ada seorang wanita cantik yang tergila-gila padanya, dan
meminta At-Tirmidzi untuk melamarnya, namun At-Tirmidzi menolaknya
dengan halus. Kemudian pada suatu hari, wanita itu mengetahui
At-Tirmidzi sedang saantai di taman. Si wanita itu berdandan dan pergi
menuju ke taman itu. Ketika
At-Tirmidzi mengetahui kedatangan wanita itu, ia melarikan diri. Wanita
itu berlari mengejarnya. At-Tirmidzi tidak perduli, ia memanjat tembok
yang tinggi dan melompat ke seberang. Suatu
hari di masa tuanya, At-Tirmidzi mengenang masa itu dan berkata dalam
hatinya, “Apa masalahnya seandainya aku memenuhi hasrat wanita itu? Aku
toh masih muda, masih punya banyak kesempatan untuk bertobat.” Saat ia merasakan pikiran ini di benaknya, ia diliputi oleh kesedihan yang mendalam. “Dasar
jiwa yang bodoh dan durhaka!” tukasnya. “Empat puluh tahun lalu, dalam
gejolak mudamu, pikiran seperti itu tidak merasukimu, kini di masa tuamu
yang sudah renta ini, setelah melalui begitu banyak perjuangan, mengapa
engkau menyesal karena tidak melakukan perbuatan dosa?” Merasa
sangat sedih, selama tiga hari ia duduk menyesali pikirannya itu.
Setelah tiga hari berlalu, ia melihat Nabi SAW dalam mimpinya. Nabi
SAW berkata padanya, “Muhammad, janganlah bersedih, apa yang terjadi
bukanlah disebabkan oleh ketergelinciranmu. Pikiran ini merasuki benakmu
karena empat puluh tahun lagi telah bertambah sejak kepergianku dari
dunia ini. Periode kepergianku dari dunia ini telah bertambah lagi
selama itu. Ini bukanlah dosamu, bukan pula karena kemunduran
spiritualmu. Apa yang engkau alami disebabkan oleh bertambah panjangnya
periode kepergianku dari dunia ini, bukan dikarenakan kemunduran
karaktermu.” *** Kisah berikut ini diduga berasal dari Tirmidzi. Setelah
Adam dan Hawa berkumpul kembali dan taubat mereka diterima Allah, pada
suatu hari Adam meninggalkan Hawa seorang diri karena sesuatu keperluan.
Maka datanglah Iblis beserta anaknya yang bernama Khannas kepada Hawa. “Aku
harus pergi untuk melakukan sesuatu hal yang penting”, si Iblis berkata
kepada Hawa. “Tolonglah jaga anakku hingga aku kembali nanti”. Hawa menerima anak itu dan si Iblis pun pergi. “Dia adalah anak Iblis yang dititipkannya kepadaku”, jawab Hawa. “Mengapa engkau sudi menolongnya?”, Adam mencela Hawa. Dengan
sangat marah anak Iblis itu dibunuhnya, dicincangnya, dan setiap
cincangan itu digantungkannya pada dahan. Setelah itu pergilah Adam.
Tidak lama kemudian Iblis datang. “Di manakah anakku?”, ia bertanya kepada Hawa. Hawa menerangkan segala sesuatu yang telah terjadi: “Adam mencincang-cincang tubuh anakmu dan setiap potongan tubuh anakmu itu digantungkannya pada dahan pohon”. Si
Iblis menyerukan nama anaknya. Potongan-potcongan tubuh anaknya
berkumpul dan iapun hidup kembali, kemudian berlari menyambut ayahnya. “Jagalah dia”, si Iblis bermohon kepada Hawa, “karena ada urusan lain yang harus kulakukan”. Mula-mula
Hawa menolak tetapi si lblis bermohon sedemikian gigihnya sehingga
akhimya ia pun menyerah. Setelah itu pergilah si Iblis meninggalkan
tempat itu. Ketika Adam pulang terlihatlah olehnya anak Iblis itu. ”Apakah artinya semua ini?”, tanya Adam. Hawa mengisahkan yang telah terjadi. Adam memukuli Hawa habis-habisan. “Aku
tak tahu apakah rahasia di balik semua ini”, Adam menghardik, “sehingga
engkau tidak mematuhi aku tetapi mematuhi seteru Allah dan terperdaya
oleh bujukannya”. Anak
itu dibunuhnya dan mayatnya dibakarnya, kemudian sebagian abunya
dibuangnya ke dalam air, sedang sebagiannya lagi dibuangnya ke udara dan
diterbangkan angin. Setelah itu Adam pergi. Si Iblis datang pula
menanyakan anaknya. Hawa menceritakan apa yang telah dilakukan Adam
terhadap anaknya. Si Iblis berteriak memanggil anaknya, abu-abu mayat
anaknya yang dibakar tadi berkumpul, kemudian si anak hidup kembali dan
bersimpuh di depan ayahnya. Sekali Iagi Iblis memohon pertolongan tetapi ditolak oleh Hawa. ”Pastilah aku dibunuh Adam nanti”, jawabnya. Iblis
membujuk dengan berbagai sumpah sehingga akhirnya Hawa sekali lagi
menyerah. Si Iblis pun pergi. Adam kembali dan didapatinya Hawa bersama
anak itu Iagi. “Allah-lah
yang mengetahui apa yang bakal ‘terjadi sekarang ini”; Adam menghardik
penuh amarah. “Engkau menuruti kata-katanya dan tak memperdulikan
kata-kataku”. Khannas
disembelihnya dan dimasaknya. Separuh dari tubuh Khannas dimakannya
sendiri dan separuhnya lagi diberikannya kepada Hawa. (Orang-orang
mengatakan sesudah tindakan Adam yang terakhir ini Iblis masih dapat
menghidupkan dan membawa Khannas dalam rupa seekor domba). Kemudian si
IbIis datang pula menanyakan ‘anaknya dan Hawa menceritakan apa yang
telah terjadi: “Anakmu dimasak Adam. Separuh tubuhnya aku makan dan separuhnya iagi dimakan oleh Adam”. “IniIah yang selama ini kuinginkan”, si Iblis berseru girang. “Aku ingin menyusup ke dalam tubuh Adam. Kini, setelah dadanya menjadi tempat kediamanku, tercapailah sudah keinginanku itu”. |
Komentar
Posting Komentar