Abdullah bin Ahmad Basaudan
Sosok Salam akhir zaman Setiap
hari selasa, di beberapa tempat di Provinsi Hadramaut, Yaman Selatan,
kita bisa menjumpai majelis Hadrah Basaudan. Di beberapa kota di
Nusantara, majelis semacam itu juga sudah mulai diadakan. Hadrah
Basaudan adalah kumpulan syair dan doa karya seorang ulama yang di
masanya diakui sebagai mufti tertinggi dalam pengetahuan, Syaikh
Abdullah bin Ahmad Basaudan. Ia telah mencapai derajat “ijtihad fatwa”
yang tak bisa diraih sembarang ulama. Begitu hebatnya Syaikh Abdullah
Basaudan, hingga para ulama Hadramaut tak canggung menyandangkan gelar Hujjatul Islam kepadanya. Gelar
kehormatan ini dulu pernah disandang Imam Al-Ghazali. Mufti besar yang
bernama lengkap Abdullah bin Ahmad bin Abdullah bin Abdurrahman Basaudan
ini dilahirkan pada tahun 1178 Hijriyah di Hurebeh, sebuah kota di
lembah Duan, Hadramaut. Ia adalah keturunan al-Miqdad bin al-Aswad
al-Kindy, salah seorang sahabat Baginda Rasul SAW. Seperti kebanyakan
ulama Hadramaut, Syaikh Abdullah Basaudan mendapat pengetahuan dasar
dari ayahandanya sendiri. Kemudian ia menggali ilmu dari sejumlah ulama
yang terkenal tahqiq (detail) dalam pengetahuan. Ia menyempatkan diri
belajar kepada Syaikh Abdullah bin Ahmad Bafaris, seorang ulama yang
dikenal sangat alim dan ahli beribadah. Syaikh Basaudan bermukim di
rumah Syaikh Abdullah dan dengan setia melazimi majelis-majelis gurunya
itu sampai wafatnya. Ia mempelajari banyak
disiplin ilmu darinya. Di antara kitab-kitab yang ia hatamkan di bawah
bimbingan gurunya itu adalah Ihya Ulumuddin, Risalah Qusyairiyah, dan
‘Awarif. Setelah itu, ia memperdalam pengetahuan fikih, sastra dan
tasawuf kepada al-Habib Umar bin Abdurrahman al-Barr,
sosok ulama dan wali besar yang disegani di Hadramaut. Bagi Syaikh
Basaudan, Habib Umar adalah Syaikh futuh (guru yang membuka cakrawala
ilmunya), lantaran Habib Umarlah yang menyempurnakan ilmu dan membentuk
karakter dirinya sampai di kemudian hari ia menjadi ulama besar. Habib
Umar juga sangat memperhatikan muridnya yang satu ini. Pada tahun 1209 H
Ia mengajak Syaikh Basaudan berziarah kepada beberapa ulama besar
Hadramaut dan memintakan ijazah untuknya. Di antaranya kepada Habib
Hamid bin Umar Hamid, Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad, Habib Husein bin
Abdullah bin Sahal, Habib Umar bin Segaf as-Segaf dan Habib Umar bin
Zein bin Sumaith. Mengenai pengalaman ziarah
bersama gurunya itu, Syaikh Basaudan berkisah, “Ketika aku mendampingi
Habib Umar bin Abdurrahman al-Barr mengunjungi Habib Umar bin Zein bin
Sumaith, aku saksikan Habib Umar al-Barr mendapatkan ijazah serta ilbas
darinya. Guruku lalu berbisik kepadaku,“ Dia (Habib Umar bin Zein),
ilmunya berada di belakang akalnya.” Ucapan Habib Umar itu merupakan
isyarat akan kehebatan Habib Umar bin Zein yang kala itu digelari
“Quthbuz Zaman.” “Para ulama yang kami kunjungi sangat menghormati
guruku,” kata Syaikh Basaudan. “ Hal itu dikarenakan kedalaman ilmu
Habib Umar, terutama dalam ilmu hadits. Beliau dulu pernah merantau ke
berbagai negara untuk mencari ilmu. Salah satu guru beliau adalah
al-Qadli Ahmad bin Qathin as- Shon’any.” Mengenai
perhatian Habib Umar kepada dirinya, ia berujar, “ Habib Umar sering
menganjurkanku agar tiada pernah jemu belajar dan mengajar, mengambil
serta memberikan manfaat. Beliau senantiasa siap membantuku, baik dengan
harta atau doa beliau“. Syaikh Basaudan tak pernah absen menyertai
Habib Umar kemana pun ia pergi. Bahkan ia tepat berada disanding
gurunya, tatkala sang guru menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan
ke Haramain, tepatnya di sebuah desa di wilayah Hijaz yang bernama
Jalajil. Oleh karena itu, maka Habib Umar bin Abdurrahman al-Barr juga
mendapat julukan Shahib Jalajil. Melanglang Syaikh
Basaudan pernah menuntut ilmu di Haramain. Di antara para gurunya di
Mekah adalah Syekh Umar bin Abdurrasul al-Attar, seorang guru besar yang
telah mencetak banyak ulama terkenal. Selama tinggal di kota itu,
Syaikh Basaudan juga mengaji kepada Habib Ali bin Muhammad al-Baity.
Kemudian ia pindah ke Madinah untuk belajar kepada Habib Muhsin bin Alwi
Muqaibal. Ia juga memperdalam pengetahuan haditsnya dengan mempelajari
kitab Shahih Bukhori kepada Habib Ahmad bin Alwi Bahasan Jamalullail,
serta memperkokoh ilmu fikihnya kepada Syaikh Muhammad bin Sholeh
ar-Rais, guru besar fikih mazhab Syafi’i di kala itu. Pengembaraan
Syaikh Basaudan untuk mereguk manisnya ilmu pengetahuan tak hanya
sampai disitu. Ia pernah melanglang ke negeri Mesir untuk belajar kepada
ilmuwan-ilmuwan besar yang bermukim di sana. Bukanlah suatu kebetulan
apabila sebagian besar guru-gurunya adalah para habaib. Ia memang
memendam rasa cinta yang mendalam kepada anak-cucu Baginda Nabi SAW.
Kelak, oleh para ulama ia digelari “Salman” ahlul bait. Ketekunan Syaikh
Basaudan dalam menimba ilmu pengetahuan pada akhirnya membuahkan hasil
yang optimal. Ia menjadi sosok yang allamah (sangat alim) dan kemudian
diangkat menjadi mufti, yakni ulama yang memperoleh kewenangan
mengeluarkan fatwa-fatwa. Keluasan ilmunya itu juga membuatnya digelari
“Hujjatul Islam.” Guru yang bijak Sikap
rendah hati Syaikh Abdullah Basaudan terlihat dari keakrabannya dengan
murid-muridnya. Ia tak pernah risih untuk sekadar duduk-duduk dan
berbincang dari hati ke hati dengan mereka. Baginya, murid bukanlah
bawahan, akan tetapi amanat yang harus dijaga. Suatu ketika ia
berdiskusi dengan salah seorang murid terbaiknya, Sayid Sholeh bin
Abdullah al-Attas. “Wahai guru, aku pernah memimpikan anda,” kata Sayid
Sholeh. “Dalam mimpi itu anda bertanya kepadaku, ‘Siapakah yang lebih
utama, anda ahlul bait) ataukah kami (ulama)?’ maka aku menjawab
pertanyaan anda, ‘Anda (ulama) menjadi utama karena kami, sementara kami
(ahlul bait) menjadi utama karena Allah dan anda.” Syaikh Abdullah
kemudian mentafsirkan mimpi muridnya itu dengan ucapan yang bijak.
“Sungguh, Allah SWT telah mempererat hubungan kita (ulama dan ahlul
bait) dengan mimpi itu.” Syekh Abdullah
Bin Ahmad Basaudan merupakan seorang yg selalu dan sangat memuliakan
akan dzurriat Baginda Rosulullah SAW, diceritakan suatu ketika ada
seorang Habib dzurriatnya Baginda Rosulullah SAW menguji akn cintanya
Syekh Abdullah Basaudan kepada dzurriatnya Baginda Rosulullah SAW, sang
Habib pun menemui Syekh Abdullah Basaudan dirumahnya dan kudanya sang
Habib diikat didepan rumah Syekh Abdullah Basaudan. Dirumah
itu sang habib pun dijamu dan dilayani dengan lemah lembut oleh Syekh
Abdullah Basaudan, sang Habib pun berkata:"wahai tuan Syekh bolehkah aku
bermalam dirumahmu", Syekh Abdullah Basaudan pun menjawab:"silahkan
wahai habib". Pada saat itu sang Habib pun
ingin langsung istirahat, dan Syekh Abdullah Basaudan mengantarkan sang
Habib ke kamar yang sudah dipersiapkan, dan Syekh Abdullah Basaudan
ketika itu hendak memijit kaki sang Habib, lalu beliau pun berkata:
"Wahai Syekh Abdullah Basaudan engkau tidak usah memijit aku tapi
pijitlah kaki kuda-ku yang kelelahan itu", seketika itu juga tanpa
membantah sepatah kata pun Syekh Abdullah Basaudan pun langsung memijit
kaki kuda sang Habib, setelah selesai barulah Syekh Abdullah Basaudan
memijit kakinya sang Habib sampai sang Habib pun tertidur, dan Syekh
Abdullah Basaudan pun tidur diruang tamu. Pada
saat itu Baginda Rosulullah SAW pun menghampiri Syekh Abdullah Basaudan
dalam mimpinya dan Baginda Rosulullah SAW berkata:"wahai Syekh Abdullah
Basaudan, terima kasih engkau sudah melayani cucuku, dan engkau pun ada
hajat apa akan diriku", Syekh Abdullah Basaudan pun menjawab:"Wahai
Rosulullah SAW aku ingin bertemu engkau disetiap waktu dalam yaqdzoh
(dalam keadaan jaga atau terbangun). Dan
seketika itu Baginda Rosulullah SAW pun menjawab:"Qobul wahai Syekh
Abdullah Basaudan" dan Syekh Abdullah Basaudan pun terbangun dan
langsung meliat Baginda Rosulullah SAW sudah ada dihadapannya.
Selain
kumpulan fatwa, syair dan wasiat, Syaikh Abdullah juga menulis beberapa
kitab. Di antaranya adalah Syarh Rasyafaat, Syarh Ratibul Haddad,
Faidhul Asrar, Hadaiqul Arwah dan Jawahirul Anfas. Karya masterpiece
Syaikh Abdullah Basaudan adalah “Hadrah Basaudan.” Hadrah ini dibaca
secara rutin setiap selasa sore di beberapa tempat di Hadramaut. Hadrah
ini berisikan kumpulan kasidah, doa-doa, dan tawassul kepada imam-imam
Alawiyyin. Akhir-akhir ini hadrah tersebut dibaca di beberapa kota di
Indonesia. Syaikh Abdullah Basaudan meninggal
dunia pada hari ketujuh bulan Jumadil Ula tahun 1266 Hijriyah dengan
meninggalkan murid-murid yang belakangan menjadi ulama besar. Mereka
adalah Habib Abubakar bin Abdullah al-Attas, Habib Sholeh bin Abdullah
al-Attas, Habib Idrus bin Umar al-Habsyi, Habib Ahmad bin Muhammad
al-Muhdor, Habib Abdurrahman bin Ali as-Segaf dan putranya sendiri,
Syaikh Muhammad bin Abdullah Basaudan. Menjelang wafatnya, banyak orang
yang mengenang bahwa wajah Syaikh Abdullah Basaudan menyerupai sosok
salah satu gurunya, yaitu Habib Thahir bin Husein bin Thahir….! |
Komentar
Posting Komentar