Abdul Halim Mahmud
Abdul
Halim Mahmud dilahirkan di desa al-salam daerah bilbis dimesir pada
tahun 1910 dalam lingkungan keluarga yang kuat dan spiritual yang
tinggi. Ia mulai belajar didesa itu dan melanjutkan pada sekolah
menengah lanjutan pada perguruan al Azhar. Setelah tamat pada menengah
lanjutan, atas anjuran orang tuannya yang alumnus al Azhar, ia
melanjutkan pada universitas al Azhar kairo. Setelah menamatkan di
universitas al Azhar, ia meneruskan perkuliahan di univrsitas sorbon
Perancis, dan kemudian memperoleh gelar doktor dengan bimbingan prof.
Dr. Louis Mossingon dengan disertasi yang membahas tentang tasawuf al Harist al Muhasibi pada tahun 1942.
Sebagaimana kebanyakan sarjana mesir yang tamat di luar negeri, setelah pulang ia tidak lagi memakai jubah dan surban sebagaimana biasanya ulama al Azhar, namun ia memakai pantolan lengkap dengan dasi dan rambut tersisir rapi, tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama, sampai ia pada suatu malam bermimpi bertemu ayahnya yang sudah meninggal dan dalam mimpi itu ia diminta ayahnya untuk meninggalkan pantolannya dan menggantinya dengan lazimnya pakaian ulama al Azhar. Sejak itu ia mulai memakai jubah dan sorban dan sejak itu pula keruhaniannya mulai berubah, mulai menukik kedalam lautan hakikat.
Setelah ia pulang dari perancis ia diangkat oleh pemerintah menjadi dosen di universitas al Azhar dan selang beberapa tahun ia diangkat menjadi dekan fakultas ushuluddin, beberapa tahun kemudian ia diangkat sebagai guru besar dan menjadi anggota rektor magnifikus universitas al Azhar, suatu kedudukan yang tinggi setingkat perdana menteri.
Selama menjadi dosen itulah ia banyak bepergian ke berbagai negara di timur tengah untuk penelitian di bidang tasawuf dan memberikan kuliah di beberapa universitas.
Ia amat dihormati dan disegani baik kalangan rakyat, pejabat, intelektual maupun ulama mesir bahkan juga dunia islam. Setelah syaikhul akbar Mahmud Syaltout meninggal dunia, maka mesir tidak lagi diwarnai fatwa-fatwa modern dalam bidang fiqih, tetapi dengan itu mulai bangkit suatu spiritualitas baru dengan tampilnya syaikhul akbar Abdul Halim Mahmud. Masyarakat mesir mendapat curahan baru air sejuk kerohanian yang terpancar dari pribadi luhur dan ceramah-ceramahnya yang sejuk, baik melalui pertemuan-pertemuan umum maupun dalam seminar atau peringatan hari-hari besar islam.
Kehidupan sebagai seorang sufi di masa modern tergambar dalam kehidupannya sehari-hari. Penulis menyaksikan sendiri betapa hidupnya yang amat sederhana, demikian juga rumahnya yang kecil dengan perabotan yang seadanya, hanya dipenuhi oleh kitab-kitab diberbagai sudut rumah, walaupun jabaan begitu demikian tinggi. Wajahnya selalu cerah, dengan percakapan yang selalu terbatas tapi mulutnya selalu zikir dengan tasbihnya selalu berputar. Kalau bepergian ia selalu lebih banyak menggunakan bus umum daripada mobil dinasnya. Kalau ia memberikan kuliah biasanya di auditorium muhammad abduh, dan sebelum ia datang, mahasiswa sudah siap dan kalau dia sudah masuk ruangan tidak satupun yang berani masuk. Ia amat berwibawa, dihormati dan disegani.
Kedudukan Abdul Halim Mahmud bukan hanya mendapat tempat di hati rakyat, pejabat atau ulama, bahkan juga mendapat tempat di hati presiden anwar saddat. Apabila Mahmud Syaltout menjadi penasihat spiritual presiden Gamal Abdul Naser maka Abdul Halim Mahmud menjadi penasehat spiritual presiden Anwar Saddat. Konon setelah bertahun-tahun dipersiapkan oleh mesir untuk mengadakan penyerangan menghancurkan benteng bar lev yang menjadi kebanggaan dan lambang supremasi militer israel itu, tiba-tiba Abdul Halim Mahmud bermimpi bertemu rasulullah dan rasulullah memberi isyarat untuk segera mengadakan penyerangan terhadap israel. Hasil mimpi itu segera disampaikan kepada presiden anwar saddat. Setelah diadakan pertimbangan militer anwar saddat segera memerintahkan penyerangan yang terkenal dengan perang ramadhan. Benteng Bar Lev yang dibanggakan israel hancur berantakan dan israel mengalami kekalahan besar.
Abdul Halim Mahmud memiliki karya-karya yang cukup banyak diantaranya adalah
1. Al tafkir al falsafi fi al islam
2. Al tasawuf inda ibnu sina
3. Al ri’ayat lihuquqillah li al mahasibi
4. Abu madyan al ghaust
5. Al syibli
6. Ahmad al badawi
7. Al Syadzaly
8. Qadhiyyat al tasawuf al munqidzu min la dhalal li al ghazali
9. Al islam wa al aql
10. Al rasul
11. Asrar al ibadat fi al islam
12. Dan lain-lain
Kalau kita kaji karya karya Abdul Halim Mahmud dalam bidang pemikiran islam maka tampak sekali bahwa ia amat menghargai para sufi islam dari manapun asalnya dan dari aliran manapun mereka. Dalam mengikuti pengajian halaqoh beliau, penulis belum pernah mendengar beliau menyalahkan sufi yang berbeda pendapat dengan beliau.
Baginya jalan tasawuf adalah jalan yang selamat, akomodatif dan konstruktif bagi kehidupan dan kemajuan. Tasawuf membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam berbagai tulisannaya ia menunjukkan betapa para sufi telah bekerja membantu para fakir miskin, membangun masyarakat, meluruskan jalan pemerintahan dan berjuang membela negara. Ia membela kaum sufi dari berbagai tuduhan dengan jawaban-jawaban yang memuaskan , dan tuduhan terhadap kaum sufi itu dianggapnya sebagai mengada-ada. Ia tunjukkan beberapa sufi yang memiliki gelar sebagai orang pekerja sebagai pemintal benang, tukang jahit, pedagang dan sebagainya, sebagaimana halnya beberapa sufi yang gugur dimedan perang untuk membela negara. Oleh karena itu melalui jalan tasawuf kaum muslimin akan bangkit dan selalu aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping teori-teori yang di kemukakannya dalam karya-karyanya itu juga tampak dalam kehidupannya sendiri , meskipun hidup dalam kehidupan tasawuf, namun ia berjuang dengan gigih berjuang baik melalui pribadi maupun jabatan negara yang disandangnya untuk kepentingan masyarakat, negara dan agama. Dengan begitu tasawuf bukan membuat masyarakat menjadi mundur, namun ia merupakan ajaran yang positif dan etos dinamisasi masyarakat. baginya tasawuf adalah kebersihan rohani dan usaha-usaha yang konstruktif dalam rangka menuju kepada Ilahi dan berolah penyaksian (Musyahadah) daripadaNya.
Berbicara tentang Musyahadah maka kita berbicara tentang pengetahuan puncak sufi yang didapat tidak lagi melalui logika atau indera, namun ia didapat melalui mata hati yang disebut dengan bashirah, sedang pengetahuan para sufi adalah pengetahuan ilham dari Allah.
Menurut Abdul Halim Mahmud, mata hati (bashirah) itu hanya bisa berfungsi kalau telah mencapai kebersihan rohani dan kebeningan jiwa hingga terang seterangmya mencapai Cahaya Ilahi. Maka tingkat pengetahuan sufi adalah tingkat kedua setelah Nubuwwah Nabi. Untuk mencapainya harus melalui maqomat dan ahwal dimana maqomat merupakan jalan bertingkat yang terus menerus diusahakan, sedang ahwal adalah keadaan pemantapan rohani yang menyejukkan dan menyegarkan yang diberikan dalam Rahmat Rabbani.
Pedoman perjalanan sufi tidak lain adalah Rasulullah sendiri. Untuk itu diperlukan syarat-syarat. Syarat pertama harus harapan penuh kepada Allah, kedua harapan akan berjumpa dengan hari akhir, dan ketiga selalu dzikir kepada Allah. Dengan persyaratan itu seseorang telah mulai memasuki pintu menuju Tuhan dan mulailah tumbuh tekad untuk tegar menuju Tuhan dan memperbanyak tobat bila terjadi alpa atau lupa. Apabila tobat telah benar akan menumbuhkan wara’ yaitu meninggalkan segala bentuk syubhat dan hal itu akan mengantarkan kepada kedudukan zuhud, suatu kehidupan sederhana dalam segala hal, dan kedudukan ini menyampaikan lagi kepada kedudukan berikutnya yaitu tawakkal. Tawakkal adalah memberikan dan mempasrahkan segala hasil usaha karena kecintaan kepada-Nya. Dengan itu kecintaan mulai tumbuh dan semakin kuat dan pendorong segala usaha dan tingkah laku itu sesuai dengan kehendak yang dicintai. Apapun yang dikehendaki yang dicinta akan dilaksanakan dengan patuh dan penuh Ridha. Ridha merupakan maqam akhir menuju Tuhan.
Adalah amat mengesankan apa yang menjadi jalan tasawuf Abdul Halim Mahmud tersebut dan hal itu juga di tunjukkan dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang sufi dan sarjana yang disegani. Kepribadian sufi yang luhur, disamping memiliki jalan tasawuf itu ia juga mampu menampilkan keunggulan spiritual islam ditengah kancah materialisme abad XX, hingga menimbulkan optimisme dan harapan-harapan baru.
Abdul Halim Mahmud dikenal dikalangan ulama dengan syaikhul akbar, dikalangan masyarakat dikenal dengan al imam, dan dikalangan sufi digelari dengan abul ‘Arifin. Bapak para sufi ini wafat pada tahun 1978 dengan diantar oleh ulama, pejabat, dan kaum muslimin yang melimpah ruah ditempat pemakamannya yang khusus untuk para ulama. Lahu al Fatihah .........
Sumber : Ajaran dan Teladan Para Sufi, Drs. H.M. Laily Mansur, LPH,
Penerbit Srigunting edisi 1 cetakan ke 3, januari 2002
Sebagaimana kebanyakan sarjana mesir yang tamat di luar negeri, setelah pulang ia tidak lagi memakai jubah dan surban sebagaimana biasanya ulama al Azhar, namun ia memakai pantolan lengkap dengan dasi dan rambut tersisir rapi, tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama, sampai ia pada suatu malam bermimpi bertemu ayahnya yang sudah meninggal dan dalam mimpi itu ia diminta ayahnya untuk meninggalkan pantolannya dan menggantinya dengan lazimnya pakaian ulama al Azhar. Sejak itu ia mulai memakai jubah dan sorban dan sejak itu pula keruhaniannya mulai berubah, mulai menukik kedalam lautan hakikat.
Setelah ia pulang dari perancis ia diangkat oleh pemerintah menjadi dosen di universitas al Azhar dan selang beberapa tahun ia diangkat menjadi dekan fakultas ushuluddin, beberapa tahun kemudian ia diangkat sebagai guru besar dan menjadi anggota rektor magnifikus universitas al Azhar, suatu kedudukan yang tinggi setingkat perdana menteri.
Selama menjadi dosen itulah ia banyak bepergian ke berbagai negara di timur tengah untuk penelitian di bidang tasawuf dan memberikan kuliah di beberapa universitas.
Ia amat dihormati dan disegani baik kalangan rakyat, pejabat, intelektual maupun ulama mesir bahkan juga dunia islam. Setelah syaikhul akbar Mahmud Syaltout meninggal dunia, maka mesir tidak lagi diwarnai fatwa-fatwa modern dalam bidang fiqih, tetapi dengan itu mulai bangkit suatu spiritualitas baru dengan tampilnya syaikhul akbar Abdul Halim Mahmud. Masyarakat mesir mendapat curahan baru air sejuk kerohanian yang terpancar dari pribadi luhur dan ceramah-ceramahnya yang sejuk, baik melalui pertemuan-pertemuan umum maupun dalam seminar atau peringatan hari-hari besar islam.
Kehidupan sebagai seorang sufi di masa modern tergambar dalam kehidupannya sehari-hari. Penulis menyaksikan sendiri betapa hidupnya yang amat sederhana, demikian juga rumahnya yang kecil dengan perabotan yang seadanya, hanya dipenuhi oleh kitab-kitab diberbagai sudut rumah, walaupun jabaan begitu demikian tinggi. Wajahnya selalu cerah, dengan percakapan yang selalu terbatas tapi mulutnya selalu zikir dengan tasbihnya selalu berputar. Kalau bepergian ia selalu lebih banyak menggunakan bus umum daripada mobil dinasnya. Kalau ia memberikan kuliah biasanya di auditorium muhammad abduh, dan sebelum ia datang, mahasiswa sudah siap dan kalau dia sudah masuk ruangan tidak satupun yang berani masuk. Ia amat berwibawa, dihormati dan disegani.
Kedudukan Abdul Halim Mahmud bukan hanya mendapat tempat di hati rakyat, pejabat atau ulama, bahkan juga mendapat tempat di hati presiden anwar saddat. Apabila Mahmud Syaltout menjadi penasihat spiritual presiden Gamal Abdul Naser maka Abdul Halim Mahmud menjadi penasehat spiritual presiden Anwar Saddat. Konon setelah bertahun-tahun dipersiapkan oleh mesir untuk mengadakan penyerangan menghancurkan benteng bar lev yang menjadi kebanggaan dan lambang supremasi militer israel itu, tiba-tiba Abdul Halim Mahmud bermimpi bertemu rasulullah dan rasulullah memberi isyarat untuk segera mengadakan penyerangan terhadap israel. Hasil mimpi itu segera disampaikan kepada presiden anwar saddat. Setelah diadakan pertimbangan militer anwar saddat segera memerintahkan penyerangan yang terkenal dengan perang ramadhan. Benteng Bar Lev yang dibanggakan israel hancur berantakan dan israel mengalami kekalahan besar.
Abdul Halim Mahmud memiliki karya-karya yang cukup banyak diantaranya adalah
1. Al tafkir al falsafi fi al islam
2. Al tasawuf inda ibnu sina
3. Al ri’ayat lihuquqillah li al mahasibi
4. Abu madyan al ghaust
5. Al syibli
6. Ahmad al badawi
7. Al Syadzaly
8. Qadhiyyat al tasawuf al munqidzu min la dhalal li al ghazali
9. Al islam wa al aql
10. Al rasul
11. Asrar al ibadat fi al islam
12. Dan lain-lain
Kalau kita kaji karya karya Abdul Halim Mahmud dalam bidang pemikiran islam maka tampak sekali bahwa ia amat menghargai para sufi islam dari manapun asalnya dan dari aliran manapun mereka. Dalam mengikuti pengajian halaqoh beliau, penulis belum pernah mendengar beliau menyalahkan sufi yang berbeda pendapat dengan beliau.
Baginya jalan tasawuf adalah jalan yang selamat, akomodatif dan konstruktif bagi kehidupan dan kemajuan. Tasawuf membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam berbagai tulisannaya ia menunjukkan betapa para sufi telah bekerja membantu para fakir miskin, membangun masyarakat, meluruskan jalan pemerintahan dan berjuang membela negara. Ia membela kaum sufi dari berbagai tuduhan dengan jawaban-jawaban yang memuaskan , dan tuduhan terhadap kaum sufi itu dianggapnya sebagai mengada-ada. Ia tunjukkan beberapa sufi yang memiliki gelar sebagai orang pekerja sebagai pemintal benang, tukang jahit, pedagang dan sebagainya, sebagaimana halnya beberapa sufi yang gugur dimedan perang untuk membela negara. Oleh karena itu melalui jalan tasawuf kaum muslimin akan bangkit dan selalu aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disamping teori-teori yang di kemukakannya dalam karya-karyanya itu juga tampak dalam kehidupannya sendiri , meskipun hidup dalam kehidupan tasawuf, namun ia berjuang dengan gigih berjuang baik melalui pribadi maupun jabatan negara yang disandangnya untuk kepentingan masyarakat, negara dan agama. Dengan begitu tasawuf bukan membuat masyarakat menjadi mundur, namun ia merupakan ajaran yang positif dan etos dinamisasi masyarakat. baginya tasawuf adalah kebersihan rohani dan usaha-usaha yang konstruktif dalam rangka menuju kepada Ilahi dan berolah penyaksian (Musyahadah) daripadaNya.
Berbicara tentang Musyahadah maka kita berbicara tentang pengetahuan puncak sufi yang didapat tidak lagi melalui logika atau indera, namun ia didapat melalui mata hati yang disebut dengan bashirah, sedang pengetahuan para sufi adalah pengetahuan ilham dari Allah.
Menurut Abdul Halim Mahmud, mata hati (bashirah) itu hanya bisa berfungsi kalau telah mencapai kebersihan rohani dan kebeningan jiwa hingga terang seterangmya mencapai Cahaya Ilahi. Maka tingkat pengetahuan sufi adalah tingkat kedua setelah Nubuwwah Nabi. Untuk mencapainya harus melalui maqomat dan ahwal dimana maqomat merupakan jalan bertingkat yang terus menerus diusahakan, sedang ahwal adalah keadaan pemantapan rohani yang menyejukkan dan menyegarkan yang diberikan dalam Rahmat Rabbani.
Pedoman perjalanan sufi tidak lain adalah Rasulullah sendiri. Untuk itu diperlukan syarat-syarat. Syarat pertama harus harapan penuh kepada Allah, kedua harapan akan berjumpa dengan hari akhir, dan ketiga selalu dzikir kepada Allah. Dengan persyaratan itu seseorang telah mulai memasuki pintu menuju Tuhan dan mulailah tumbuh tekad untuk tegar menuju Tuhan dan memperbanyak tobat bila terjadi alpa atau lupa. Apabila tobat telah benar akan menumbuhkan wara’ yaitu meninggalkan segala bentuk syubhat dan hal itu akan mengantarkan kepada kedudukan zuhud, suatu kehidupan sederhana dalam segala hal, dan kedudukan ini menyampaikan lagi kepada kedudukan berikutnya yaitu tawakkal. Tawakkal adalah memberikan dan mempasrahkan segala hasil usaha karena kecintaan kepada-Nya. Dengan itu kecintaan mulai tumbuh dan semakin kuat dan pendorong segala usaha dan tingkah laku itu sesuai dengan kehendak yang dicintai. Apapun yang dikehendaki yang dicinta akan dilaksanakan dengan patuh dan penuh Ridha. Ridha merupakan maqam akhir menuju Tuhan.
Pengakuan Syaikh Abdul Halim Mahmud tentang Kekeramatan
Ketika
saya memulai penyusunan kitab ini [Asy Syadzily], tiba-tiba saya
menghadapi suatu kemusykilan yakni mengenai “Kekeramatan” [karomah],
dimana soal kekeramatan ini amat banyak kita jumpai terutama dalam
kitab-kitab lama yang berisi tentang syaikh Abul hasan, maka tidak
mungkin kekeramatan ini kita abaikan tanpa, membuka peluang untuk kita
bicarakan.
Akan kunukil keseluruhannya, lalu aku meninggalkan tanggung jawab dengan menimpakan pada orang-orang yang telah menyebutnya?
Dalam Terjemahan Bahasa Indonesia berjudul : “Abul Hasan Asy Syadzili ; Kehidupan Do’a dan Hizibnya”
diterjemahkan Oleh Abu Bakar Basymeleh dan Ibrahim Mansur,
Penerbit Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan Pertama Desember 1992
Demikian
perkembangan kesufian seseorang, menurut Abdul Halim Mahmud, dimulai
dengan rasio dilanjutkan dengan perkembangan ruhani yang meningkat
hingga bashirah menyampaikan kepada Musyahadah.Akan kunukil keseluruhannya, lalu aku meninggalkan tanggung jawab dengan menimpakan pada orang-orang yang telah menyebutnya?
Dengan
menempuh jalan sebagaimana yang tersebut diatas, apakah kiranya patut
disebut kalau aku melakukan sesuatu yang baik bagi syaikh Abul hasan
atau pula kebalikannya?
Orang-orang yang terpelajar dimasa kini kurang senang kalau disebutkan soal kekeramatan dengan begitu saja tanpa diperhitungkan, apalagi secara berlebihan dalam penuturan. Lain halnya dengan orang yang mengikuti para wali dimanapun juga ia berada, ia akan berupaya agar hal kekeramatan itu selalu disebut demi untuk menambah semaraknya sang wali dan menggusarkan bagi mereka yang kurang menyukai.
Mengenai mereka yang mengingkari kekeramatan, mereka mengingkari juga mukjizat-mukjizat walaupun dapat dicapai oleh panca indera sebagai mana yang tersebut dalam sunnah yang benar yang beritanya telah disaring oleh para ahli riwayat hadist berkenaan dengan Rasulullah SAW. Mereka berkenaan dengan mu’jizat sudah merasa cukup dengan adanya Alqur’an dan enggan mengakui selainnya walaupun yang dibawakan oleh pemuka-pemuka hadist sebagaimana imam bukhari dan imam muslim dan dari beberapa kitab hadist yang banyak ragamnya.
Jiwa orang sekarang kurang dapat menerima kekeramatan, mereka akan mengolok-olok secara terang-terangan kepada siapa yang membawa riwayat dengan imbuhan tentang kekeramatan seorang wali.
Akan kuikuti pulakah jejak mereka yang ingkar ? badai kemusykilan ini kuhadapai dengan tegas, akupun tidak maju mundur sejak memulai dari mukadimah dan kusebutkan dengan jelas akan halnya kekeramatan pada diri Syaikh Abul hasan sesuai dengan riwayat syaikh abul abbas ra. Tidak sedikitpun keraguan dalam hatiku mengenai kebenarannya. Aku pun menukil beberapa riwayat kekeramatan yang sesuai dengan isi kitabku.
Mengapa begitu lancar usaha penukilan dalam kitab ini ? mengapa ? Hal-hal berikut inilah yang menjadi jawaban atas pertanyaan diatas :
1. Bahwa alqur’an sendiri membicarkan dengan susun kata tanpa kesamaran tentang mukjizat dimana Allah bermurah memberikan mukjizat-mukjizat itu kepada Rasul dan para NabiNya. Dan didalam alqur’an pula dibicarakan masalah kekeramatan bahwa itu adalah Anugerah Allah SWT kepada para auliya’ dan ashfiya’Nya (para pilihanNya). Bukanlah alqur’an telah membicarkan dengan jelas hingga tidak memerlukan takwil, bahwasannya Isa as, membentuk burung dari tanah kemudian ia tiup maka menjadilah seekor burung yang hidup dengan izin Allah ? dan Al masih menyembuhkan orang buta dan sopak, juga menghidupkan orang yang mati dengan izin Allah. Didalam alqur’an didapati pula tentang Nabi Musa as, yang melemparkan tongkatnya tiba-tiba menelan apa yang mereka (ahli sihir fir’aun) pamerkan. Dan ia yang mengeluarkan tangannya lalu tampak putih bagi yang melihat, dan bunda Maryam yang hamil tanpa sentuhan lelaki, bukannya kesemuanya ini malanggar tabiat dan adat ? betapa pula keheranan zakaria yang melihat makanan yang tersedia dalam bilik maryam, hingga beliau menanyakan “Wahai Maryam ! dari mana kau dapatkan kesemuannya ini ?” Maryam menjawab dengan tenang “ Dari sisi Allah SWT.
2. Nama peraturan tabiat sebenarnya yang tepat adalah adat kebiasaan alam. Pelanggaran terhadap adat bukanlah barang mustahil bagi pertimbangan akal. Adat kebiasaan alam tidak dapat menguasai Tuhannya alam semesta.
3. Tangan-tangan yang dilalui oleh mukjizat atau kekeramatan tiadalah mereka mengaitkan dengan dirinya, tetapi menasabkan kepada yang Maha Pemurah yang Maha pemberi, yang memiliki kekuasaan yang mampu menaklukan dan memaksakan. Mereka itu menasabkan kepada Dia yang berkuasa sepenuhnya atas segala sesuatu.
4. Kalau kita mengarahkan selidik kita pada mereka yang ingkar terhadap kekeramatan, mereka itu tiada bedanya dengan warna kekejaman dan kekerasan hati, kalau anda tengok agak kedalam, anda akan mendapati mereka bukanlah orang yang memiliki perasaan yang halus, tidak pula padanya bashirah apalagi kemalaikatan ruh, mereka itu kalau bukan dari golongan mulhid (atheis) adalah dari jenis yang imannya belum meresap kedalam lubuk ghatinya dan masih merupakan sesuatu yang terapung dan belum mendasar.
5. Jumhur para muslimin sepanjang masa baik para awam atau para khusus ataupun yang sudah tinggi ilmu agamanya tidak satupun yang mengingkari, dan kesemuanya mengimani kekeramatan.
Sebab sebab yang sudah saya sebutkan diatas membantu saya untuk menelusuri dan menukil dari kekeramatan Asy Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili. Ada pula sebab lain yang bersifat khusus, tanpa mendabik dada aku katakan bahwa aku dapat menghadapi kemusykilan itu dengan mudah. Terus terang tanpa sedikitpun rasa sombong bahwa diriku ini bukanlah pribadi yang dipermainkan oleh waham dan khayal dan tidaklah pada hari-hari yang kutinggalkan menjadi mangsa kebatilan dan khurafat. Kepunyaan Allah-lah segala kurnia dan pemberiaan. Telah menjauh antaraku dengan pengaruh yang membekas (iehaa’-mempesonakan) yang membawa kepada waham dan khayal.
Kalau aku menambahkan berbagai sebab khusus, kesemuanya itu adalah agar keyakinan itu penuh dengan kepercayaan. Semoga Allah memberi hidayah kepada siap yang dalam hatinya kesediaan untuk menerima kebaikan dan pada ruhnya terdapat sendi-sendi untuk menampung kebenaran.
Disaat mengakhiri kitab ini tiba pula cobaan yang tak putus-putusnya, cara yang kutempuh tak lain adalah melindungkan diri kepada Allah disertai mohon kelapangan, tiba-tiba pada suatu hari telah datang kepadaku seorang yang saleh, yang mana beliau itu amat memaklumi hal-hal dari permulaan kitab ini. Beliau memberikan kepadaku gulungan kertas yang berisi “Shighah” (cara-cara bershalawat kepada Rasulullah saw). Pak saleh ini berkata bacalah dengan tekun dan selamilah kedalaman arti yang terkandung, bacalah seorang diri dimalam hari, semoga dengan demikian sirnalah apa yang selama ini membebani dirimu dan terbukalah apa yang selama ini mengaburkan.
Akupun beriktikaf mengasingkan diri dalam bilik sehabis sholat isya’, aku nyalakan lampu kamarku setelah itu kertas dari pak shaleh itu mulai kusentuh dan kubuka, berulang-ulang ku baca shighah shalawat yang tertera di atas kertas itu, ku selami dengan tekun kedalaman arti yang terkandung. Tiba-tiba dengan cara mendadak huruf-huruf tulisan dalam shighah itu menyala-nyala berkilau dengan cemerlang sekalipun lampu didalam kamarku terang menyala, tetapi huruf-huruf dengan cahayanya mampu mengalahkan terangnya lampu. Mungkin saja mataku silap maka kugosok mataku berulang kali, tetapi huruf itu tetap meyala dengan penuh gemerlapan yang amat mempesonakan.
Sadarlah aku sekarang betapa Allah membuka pintu RahmatNya, aku bersyukur, puja-puji kuhadapkan kepadaNya. Nur yang keperoleh ini merupakan rumus yang mampu menyirnakan beban derita dan menghilangkan duka cita, itulah “kekeramatan shighah yang diberkahi.
Satu pelanggaran adat yang terjadi di hadapan mataku adalah apa yang pada suatu pagi, dimana aku sedang duduk diruang perpustakaan dalam rumahku. Sudah teradat pada diriku, sebelum aku memulai membaca, kurenungkan pikiranku dengan menundukkan kepala sambil memejamkan mata dan setelah itu kepala baru ku angkat dan kubuka mataku, di pagi hari itu demikian pula yang kulakukan, tetapi setelah kuangkat kepalaku dan kubuka mataku, nampak dihadapanku sesosok tubuh seorang lelaki kekar, kulitnya berwarna sawo matang, kepalanya dibalut dengan kain putih yang oleh penduduk hijaz diberi nama al-fitrah. Besar tubuhnya lebih patut dikatakan kurus dan berdirinya agak membungkuk.
Sekujur badannya kulihat dengan nyata sampai-sampai corak pakainnya kulihat penuh ketelitian, suatu keanehan pula bahwa perasaanku tidak gentar sedikitpun menghadapi orang itu. Tidak sepatah katapun keluar dari lesannya dan akupun demikian juga, kami hanya saling pandang memandang, lama kelamaan mulai tampak kabur sedikit demi sedikit, pandanganpun mulai menipis hingga akhirnya lenyap sama sekali.
Demikianlah kesaksian penuh pesona tanpa gerak sedikitpun yang kualami di pagi hari yang cerah itu.”pelanggaran adat” yang bagaimana pula yang akan kualami setelah kesemuanya ini ?
Orang yang mengingkari pelanggaran adat dan mengingkari kekeramatan para wali Allah, mereka itu mengingkari jerih payah manusia sebagai penyelidik semenjak wujudnya manusia. Mereka mengingkari penetapan alqur’anul karim, mengingkari jumhur umat, dan setelah pengalaman pribadiku yang hanya beberapa detik itu, makin kokohlah pendirianku bahwa kekeramatan Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili dan hal ini sudah kumulai sejak mukadimah secara langsung dan penetapanku pula yang sudah disaksikan oleh Quthub besar Abus Abbas Al Mursi, beliau sudah menyaksikan dengan kesaksian yang meyakinkan.
Dari Kitab “Asy Syadzili” karya Syaikh Abdul Halim Mahmud,Orang-orang yang terpelajar dimasa kini kurang senang kalau disebutkan soal kekeramatan dengan begitu saja tanpa diperhitungkan, apalagi secara berlebihan dalam penuturan. Lain halnya dengan orang yang mengikuti para wali dimanapun juga ia berada, ia akan berupaya agar hal kekeramatan itu selalu disebut demi untuk menambah semaraknya sang wali dan menggusarkan bagi mereka yang kurang menyukai.
Mengenai mereka yang mengingkari kekeramatan, mereka mengingkari juga mukjizat-mukjizat walaupun dapat dicapai oleh panca indera sebagai mana yang tersebut dalam sunnah yang benar yang beritanya telah disaring oleh para ahli riwayat hadist berkenaan dengan Rasulullah SAW. Mereka berkenaan dengan mu’jizat sudah merasa cukup dengan adanya Alqur’an dan enggan mengakui selainnya walaupun yang dibawakan oleh pemuka-pemuka hadist sebagaimana imam bukhari dan imam muslim dan dari beberapa kitab hadist yang banyak ragamnya.
Jiwa orang sekarang kurang dapat menerima kekeramatan, mereka akan mengolok-olok secara terang-terangan kepada siapa yang membawa riwayat dengan imbuhan tentang kekeramatan seorang wali.
Akan kuikuti pulakah jejak mereka yang ingkar ? badai kemusykilan ini kuhadapai dengan tegas, akupun tidak maju mundur sejak memulai dari mukadimah dan kusebutkan dengan jelas akan halnya kekeramatan pada diri Syaikh Abul hasan sesuai dengan riwayat syaikh abul abbas ra. Tidak sedikitpun keraguan dalam hatiku mengenai kebenarannya. Aku pun menukil beberapa riwayat kekeramatan yang sesuai dengan isi kitabku.
Mengapa begitu lancar usaha penukilan dalam kitab ini ? mengapa ? Hal-hal berikut inilah yang menjadi jawaban atas pertanyaan diatas :
1. Bahwa alqur’an sendiri membicarkan dengan susun kata tanpa kesamaran tentang mukjizat dimana Allah bermurah memberikan mukjizat-mukjizat itu kepada Rasul dan para NabiNya. Dan didalam alqur’an pula dibicarakan masalah kekeramatan bahwa itu adalah Anugerah Allah SWT kepada para auliya’ dan ashfiya’Nya (para pilihanNya). Bukanlah alqur’an telah membicarkan dengan jelas hingga tidak memerlukan takwil, bahwasannya Isa as, membentuk burung dari tanah kemudian ia tiup maka menjadilah seekor burung yang hidup dengan izin Allah ? dan Al masih menyembuhkan orang buta dan sopak, juga menghidupkan orang yang mati dengan izin Allah. Didalam alqur’an didapati pula tentang Nabi Musa as, yang melemparkan tongkatnya tiba-tiba menelan apa yang mereka (ahli sihir fir’aun) pamerkan. Dan ia yang mengeluarkan tangannya lalu tampak putih bagi yang melihat, dan bunda Maryam yang hamil tanpa sentuhan lelaki, bukannya kesemuanya ini malanggar tabiat dan adat ? betapa pula keheranan zakaria yang melihat makanan yang tersedia dalam bilik maryam, hingga beliau menanyakan “Wahai Maryam ! dari mana kau dapatkan kesemuannya ini ?” Maryam menjawab dengan tenang “ Dari sisi Allah SWT.
2. Nama peraturan tabiat sebenarnya yang tepat adalah adat kebiasaan alam. Pelanggaran terhadap adat bukanlah barang mustahil bagi pertimbangan akal. Adat kebiasaan alam tidak dapat menguasai Tuhannya alam semesta.
3. Tangan-tangan yang dilalui oleh mukjizat atau kekeramatan tiadalah mereka mengaitkan dengan dirinya, tetapi menasabkan kepada yang Maha Pemurah yang Maha pemberi, yang memiliki kekuasaan yang mampu menaklukan dan memaksakan. Mereka itu menasabkan kepada Dia yang berkuasa sepenuhnya atas segala sesuatu.
4. Kalau kita mengarahkan selidik kita pada mereka yang ingkar terhadap kekeramatan, mereka itu tiada bedanya dengan warna kekejaman dan kekerasan hati, kalau anda tengok agak kedalam, anda akan mendapati mereka bukanlah orang yang memiliki perasaan yang halus, tidak pula padanya bashirah apalagi kemalaikatan ruh, mereka itu kalau bukan dari golongan mulhid (atheis) adalah dari jenis yang imannya belum meresap kedalam lubuk ghatinya dan masih merupakan sesuatu yang terapung dan belum mendasar.
5. Jumhur para muslimin sepanjang masa baik para awam atau para khusus ataupun yang sudah tinggi ilmu agamanya tidak satupun yang mengingkari, dan kesemuanya mengimani kekeramatan.
Sebab sebab yang sudah saya sebutkan diatas membantu saya untuk menelusuri dan menukil dari kekeramatan Asy Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili. Ada pula sebab lain yang bersifat khusus, tanpa mendabik dada aku katakan bahwa aku dapat menghadapi kemusykilan itu dengan mudah. Terus terang tanpa sedikitpun rasa sombong bahwa diriku ini bukanlah pribadi yang dipermainkan oleh waham dan khayal dan tidaklah pada hari-hari yang kutinggalkan menjadi mangsa kebatilan dan khurafat. Kepunyaan Allah-lah segala kurnia dan pemberiaan. Telah menjauh antaraku dengan pengaruh yang membekas (iehaa’-mempesonakan) yang membawa kepada waham dan khayal.
Kalau aku menambahkan berbagai sebab khusus, kesemuanya itu adalah agar keyakinan itu penuh dengan kepercayaan. Semoga Allah memberi hidayah kepada siap yang dalam hatinya kesediaan untuk menerima kebaikan dan pada ruhnya terdapat sendi-sendi untuk menampung kebenaran.
Disaat mengakhiri kitab ini tiba pula cobaan yang tak putus-putusnya, cara yang kutempuh tak lain adalah melindungkan diri kepada Allah disertai mohon kelapangan, tiba-tiba pada suatu hari telah datang kepadaku seorang yang saleh, yang mana beliau itu amat memaklumi hal-hal dari permulaan kitab ini. Beliau memberikan kepadaku gulungan kertas yang berisi “Shighah” (cara-cara bershalawat kepada Rasulullah saw). Pak saleh ini berkata bacalah dengan tekun dan selamilah kedalaman arti yang terkandung, bacalah seorang diri dimalam hari, semoga dengan demikian sirnalah apa yang selama ini membebani dirimu dan terbukalah apa yang selama ini mengaburkan.
Akupun beriktikaf mengasingkan diri dalam bilik sehabis sholat isya’, aku nyalakan lampu kamarku setelah itu kertas dari pak shaleh itu mulai kusentuh dan kubuka, berulang-ulang ku baca shighah shalawat yang tertera di atas kertas itu, ku selami dengan tekun kedalaman arti yang terkandung. Tiba-tiba dengan cara mendadak huruf-huruf tulisan dalam shighah itu menyala-nyala berkilau dengan cemerlang sekalipun lampu didalam kamarku terang menyala, tetapi huruf-huruf dengan cahayanya mampu mengalahkan terangnya lampu. Mungkin saja mataku silap maka kugosok mataku berulang kali, tetapi huruf itu tetap meyala dengan penuh gemerlapan yang amat mempesonakan.
Sadarlah aku sekarang betapa Allah membuka pintu RahmatNya, aku bersyukur, puja-puji kuhadapkan kepadaNya. Nur yang keperoleh ini merupakan rumus yang mampu menyirnakan beban derita dan menghilangkan duka cita, itulah “kekeramatan shighah yang diberkahi.
Satu pelanggaran adat yang terjadi di hadapan mataku adalah apa yang pada suatu pagi, dimana aku sedang duduk diruang perpustakaan dalam rumahku. Sudah teradat pada diriku, sebelum aku memulai membaca, kurenungkan pikiranku dengan menundukkan kepala sambil memejamkan mata dan setelah itu kepala baru ku angkat dan kubuka mataku, di pagi hari itu demikian pula yang kulakukan, tetapi setelah kuangkat kepalaku dan kubuka mataku, nampak dihadapanku sesosok tubuh seorang lelaki kekar, kulitnya berwarna sawo matang, kepalanya dibalut dengan kain putih yang oleh penduduk hijaz diberi nama al-fitrah. Besar tubuhnya lebih patut dikatakan kurus dan berdirinya agak membungkuk.
Sekujur badannya kulihat dengan nyata sampai-sampai corak pakainnya kulihat penuh ketelitian, suatu keanehan pula bahwa perasaanku tidak gentar sedikitpun menghadapi orang itu. Tidak sepatah katapun keluar dari lesannya dan akupun demikian juga, kami hanya saling pandang memandang, lama kelamaan mulai tampak kabur sedikit demi sedikit, pandanganpun mulai menipis hingga akhirnya lenyap sama sekali.
Demikianlah kesaksian penuh pesona tanpa gerak sedikitpun yang kualami di pagi hari yang cerah itu.”pelanggaran adat” yang bagaimana pula yang akan kualami setelah kesemuanya ini ?
Orang yang mengingkari pelanggaran adat dan mengingkari kekeramatan para wali Allah, mereka itu mengingkari jerih payah manusia sebagai penyelidik semenjak wujudnya manusia. Mereka mengingkari penetapan alqur’anul karim, mengingkari jumhur umat, dan setelah pengalaman pribadiku yang hanya beberapa detik itu, makin kokohlah pendirianku bahwa kekeramatan Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili dan hal ini sudah kumulai sejak mukadimah secara langsung dan penetapanku pula yang sudah disaksikan oleh Quthub besar Abus Abbas Al Mursi, beliau sudah menyaksikan dengan kesaksian yang meyakinkan.
Dalam Terjemahan Bahasa Indonesia berjudul : “Abul Hasan Asy Syadzili ; Kehidupan Do’a dan Hizibnya”
diterjemahkan Oleh Abu Bakar Basymeleh dan Ibrahim Mansur,
Penerbit Mutiara Ilmu Surabaya, Cetakan Pertama Desember 1992
Adalah amat mengesankan apa yang menjadi jalan tasawuf Abdul Halim Mahmud tersebut dan hal itu juga di tunjukkan dalam perjalanan hidupnya sebagai seorang sufi dan sarjana yang disegani. Kepribadian sufi yang luhur, disamping memiliki jalan tasawuf itu ia juga mampu menampilkan keunggulan spiritual islam ditengah kancah materialisme abad XX, hingga menimbulkan optimisme dan harapan-harapan baru.
Abdul Halim Mahmud dikenal dikalangan ulama dengan syaikhul akbar, dikalangan masyarakat dikenal dengan al imam, dan dikalangan sufi digelari dengan abul ‘Arifin. Bapak para sufi ini wafat pada tahun 1978 dengan diantar oleh ulama, pejabat, dan kaum muslimin yang melimpah ruah ditempat pemakamannya yang khusus untuk para ulama. Lahu al Fatihah .........
Penerbit Srigunting edisi 1 cetakan ke 3, januari 2002
Komentar
Posting Komentar